Hukum Sebab Dan Akibat, Serta Bergantung
Kepada Sebab
Hukum Sebab Dan Akibat
Syaikh Muhammad bin Shalih al -'Utsaimin
Pertanyaan: Ada orang yang menyandarkan cuaca sangat dingin atau
sangat panas kepada faktor-faktor iklim atau lapisan ozon atau peredaran bola
dunia, bolehkan penafsiran ini?
Jawaban: Tidak diragukan lagi bahwa cuaca sangat panas dan sangat
dingin karena adanya sebab-sebab alamiyah yang sudah diketahui, dan
keberadaannya dengan sebab-sebabnya termasuk kesempurnaan hikmah Allah
. Dan penjelasannya bahwa Allah menciptakan makhluk di atas
kesempurnaan tatanan, dan ada beberapa sebab yang majhul (tidak diketahui),
kita tidak mengetahuinya, seperti sabda Rasulullah :
"Neraka mengadu kepada Rabb-nya seraya berkata: 'Ya Rabb, sebagian kami
memakan yang lain. Maka Dia mengijinkan baginya dengan dua napas, napas di
musim dingin dan napas di musim panas. Maka ia melebihi yang kamu dapatkan
dari rasa panas dan melebih yang kamu dapatkan dari zamharir."1
Ini adalah sebab yang tidak bisa diketahui kecuali lewat jalur wahyu.
Tidak mengapa manusia menyandarkan sesuatu kepada sebab yang sudah
diketahui secara indera atau syara', namun setelah memastikan bahwa ia adalah
sebab yang sebenarnya. Dan jika ia merupakan sebab yang masih waham
(dugaan, ilusi) atau sebab yang bersandar kepada teori yang tidak ada dasarnya
maka tidak boleh menyandarkannya, karena menetapkan berbagai peristiwa
atau kejadian kepada sebab yang tidak diketahui –tidak lewat jalur syara' dan
tidak lewat jalur hissy (indera)- termasuk dalam kategori yang dilarang oleh Allah
dalam firman-Nya:
1 Al-Bukhari 537 dan Muslim 617.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. al-Isra`36)
Pertanyaan: Apakah hukumnya bergantung kepada sebab?
Jawaban: Bergantung dengan sebab ada beberapa bagian:
Bagian Pertama, yang menafikan tauhid secara mendasar, yaitu manusia
bergantung kepada sesuatu yang tidak mungkin memberi pengaruh padanya dan
ia berpegang atasnya secara menyeluruh lagi berpaling dari Allah . Seperti
bergantungnya para penyembah kubur dengan mayat yang ada di dalamnya saat
terjadinya musibah. Ini merupakan syirik besar yang mengeluarkan dari agama,
dan hukum pelakunya adalah yang disebutkan Allah dalam firmannya:
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah
ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS. al-Maidah:72)
Bagian Kedua, ia berpegang kepada sebab syar'i yang sah disertai lupa
kepada yang menciptakan sebab, yaitu Allah . Ini termasuk salah satu jenis
syirik, namun tidak mengeluarkannya dari agama, karena ia berpegang kepada
sebab dan lupa kepada yang memberi sebab, yaitu Allah .
Bagian ketiga, ia bergantung kepada sebab sebagai ketergantungan
semata-mata karena ia merupakan sebab saja, disertai pegangannya yang asli
hanya kepada Allah . Ia meyakini bahwa sebab ini berasal dari Allah , dan
sesungguhnya jika Allah menghendaki Dia memutuskannya dan jika Dia
menghendaki niscaya Dia menetapkannya, dan sesungguhnya tidak ada
pengaruh bagi sebab dalam kehendak Allah . Ini tidak menafikan tauhid
sedikitpun, tidak pada dasarnya dan tidak pula pada kesempurnaannya.
Disamping adanya sebab-sebab secara syar'i yang shahih, tidak
sepantasnya manusia menggantungkan dirinya kepada sebab, akan tetapi ia
menggantungkannya kepada Allah . Maka pegawai (karyawan) yang hatinya
bergantung dengan gajinya dengan ketergantungan sempurna disertai lupa
terhadap pemberi sebab, yaitu Allah . Maka ini termasuk salah satu jenis
syirik. Adapun bila ia meyakini bahwa gajinya hanyalah sebab dan pemberi
sebab adalah Allah , maka ini tidak menafikan tawakal. Rasulullah pun
mengambil sebab di samping berpegangnya beliau kepada pemberi sebab,
yaitu Allah .
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –Fatawa Aqidah hal. 303-304..