Pada saat bertengkar dengan istrinya, seorang suami telah mencela Allah dan agama, dan setelah dia memastikan bahwa dirinya telah keluar dari Islam, lalu dia menyatakan bertaubat dan kembali mengucapkan dua kalimat syahadat dan sangat menyesali perbuatannya. Maka apakah kemurtadannya tersebut membatalkan puasanya pada bulan Ramadhan ?, jika demikian maka apakah dia harus mengganti satu hari puasa atau harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut ? Alhamdulillah. Islam adalah termasuk syarat utama untuk menjadikan ibadah itu sah dan diterima. Yang menjadi dasar dalam hal itu adalah firman Allah –Ta’ala-: ( قُلْ أَنفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَّن يُتَقَبَّلَ مِنكُمْ إِنَّكُمْ كُنتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ ، وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ ) التوبة /53 – 54 . “Katakanlah: "Nafkahkanlah hartamu baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik." (QS. At Taubah: 53-54) Ayat ini menjelaskan bahwa syarat diterimanya ibadah adalah keimanan, maka tanpanya ibadah menjadi tidak sah. Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Dan firman Allah: “Katakanlah: "Nafkahkanlah hartamu baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa”, maksudnya: “meskipun kalian menafkahkannya dengan sukarela atau dengan terpaksa maka: “nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik." Kemudian Allah –Ta’ala- menjelaskan yang menjadi penyebabnya adalah karena nafkah mereka tidak diterima: “karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya karena mereka telah menjadi kafir, dan semua perbuatan itu menjadi sah jika diiringi oleh keimanan”. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/162) Maka barang siapa yang murtad pada saat berpuasa maka puasanya pun menjadi batal. Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan di antara para ulama bahwa barang siapa yang murtad pada saat berpuasa maka kemurtadannya itu telah merusak puasanya. Dan dia wajib mengqadha’ puasanya tersebut jika dia masuk Islam kembali, baik dia kembali masuk Islam pada hari itu juga atau setelah berlalunya hari tersebut. Baik penyebab kemurtadannya tersebut dilakukan dengan penuh keyakinan atau meragukan apa yang menjadikannya kafir, ataupun dengan mengucapkan kata-kata kufur, baik dengan cara menghina atau tidak. Allah –Ta’ala- berfirman: ( وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ، لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ) التوبة (65 – 66)" “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". (QS. At Taubah: 65-66) (Al Mughni: 4/369-370) Adapun masalah kaffarat (denda) maka telah dijelaskan pada fatwa nomor: 106476 bahwa hal itu tidak diwajibkan kecuali bagi seseorang yang merusak puasanya dengan jima’ (hubungan suami istri) saja. Adapun semua yang merusak puasa selain jima’ maka tidak diwajibkan kecuali hanya mengqadha’ saja. Atas dasar itulah maka diwajibkan bagi laki-laki tersebut untuk mengqadha’ satu hari sebagai ganti puasanya yang rusak pada hari tersebut dan tidak ada kaffarat (denda). Wallahu A’lam.Pertanyaan
Teks Jawaban