Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllah u’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Khutbah pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mencipta, memiliki, dan mengatur semesta alam. Dialah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi yang tidak ada sekutu bagi -Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan -Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin kaum muslimin, Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang berjalan di atas sunnahnya.
Jamaah jum’ah yang semoga dirahmati Allah Shubhanahu wa ta’alla, Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu untuk diamalkan dalam kehidupan kita. Tentu saja harus melalui keterangan serta bimbingan para ulama yang berjalan di atas jalan generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merekalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk membawa agama Islam setelah wafatnya Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla.
Hadirin rahimakumullah,
Pada kesempatan khutbah kali ini akan kami sampaikan, enam perkara penting di antara prinsip-prinsip yang ada dalam agama Islam yang disebutkan oleh salah seorang ulama besar, yaitu asy-Syaikh Muhammad at-Tamimi dalam kitab beliau al-Ushulus Sittah. Enam perkara penting ini sesungguhnya telah disebutkan dengan sangat jelas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga orang yang awam pun dari kaum muslimin akan memahaminya apabila mau mempelajarinya. Namun, karena jauhnya sebagian kaum muslimin dari ulama dalam mempelajari agamanya dan kurangnya sebagian kaum muslimin dalam mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah—bahkan Al-Qur’an hanya sebatas dihafalkan atau dibaca saja—enam perkara yang penting ini menjadi perkara yang tidak diketahui, bahkan disalahpahami. Tidak saja disalahpahami oleh orang-orang awam, namun juga oleh orang-orang yang dikenal berpendidikan tinggi serta ditokohkan oleh sebagian kaum muslimin.
Hadirin rahimakumullah,
Keenam perkara penting ini, yang pertama adalah kewajiban untuk mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata dan tidak menyekutukan -Nya dengan sesuatu pun. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menyebutkan perkara yang penting ini dengan sangat jelas dalam banyak ayat-Nya, seperti dalam firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ ﴾ [ النساء : 36]
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (an-Nisa: 36).
Ayat ini menjelaskan bahwa ibadah dengan segala jenisnya hanyalah untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata karena Allah Shubhanahu wa ta’alla-lah satu-satunya yang mencipta, menguasai, serta mengatur alam semesta.
Hadirin rahimakumullah,
Namun prinsip yang besar ini kemudian menjadi perkara yang asing dan disalahpahami oleh banyak orang. Disebabkan tipu daya setan yang menghiasi kesyirikan dalam bentuk mencintai orang saleh, terjatuhlah banyak kaum muslimin dalam perbuatan syirik.
Di antara mereka ada yang menjadikan orang yang telah meninggal dunia dari yang dianggap saleh tersebut sebagai perantara untuk meminta kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau dengan melakukan penyembelihan di atas kuburannya serta mengambil berkah dari tanah kuburannya, dan yang semisalnya. Jadilah mencintai orang saleh diwujudkan dalam bentuk kesyirikan. Orang yang tidak mau berbuat syirik kemudian dianggap sebagai orang yang tidak mencintai orang saleh. Tentu saja, perbuatan ini menyelisihi apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sahih serta bertentangan dengan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh para nabi yang diutus untuk mengajak manusia agar mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Di samping itu, karena alasan mencintai orang saleh pula, banyak dari kaum muslimin yang tertipu oleh setan sehingga terjatuh dalam perkara yang akan menyeret kepada perbuatan syirik. Di antaranya dengan membangun dan beribadah di sekitar makam orang yang dianggap saleh, serta menganggap bahwa berdoa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla di sekitar kuburan tersebut lebih mustajab dari berdoa dan beribadah di tempat lain. Padahal menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah merupakan amalan orang Yahudi dan Nasrani yang diingatkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لَعْنَةُ اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ » [ متفق عليه ]
“Semoga Allah Shubhanahu wa ta’allamelaknat Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat beribadah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Perkara penting yang kedua adalah bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu di atas agama Allah Shubhanahu wa ta’allaserta melarang berpecah-belah dengan menyelisihi ajarannya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ﴾ [آل عمران : 103]
“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103).
Ayat ini menunjukkan kewajiban untuk menjalankan hal yang penting ini, yaitu agar kaum muslimin bersatu di atas agama Allah Shubhanahu wa ta’alla dan mengembalikan perselisihan di antara mereka kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan fanatik buta kepada ucapan ulama A atau ulama B, tanpa memperdulikan dasar pijakannya. Bukan pula dengan membiarkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam permasalahan yang salah satunya dibangun di atas dalil yang kuat sedangkan yang lainnya sebaliknya. Karena itu, hal ini akan menyebabkan tidak adanya upaya saling menasihati serta akan menghilangkan kewajiban tolong-menolong di atas kebenaran, yang akibatnya akan terjatuh pada tolong-menolong di atas kebatilan.
Adapun sabda Nabi Allah Shubhanahu wa ta’alla yang menyebutkan bahwa “perselisihan umatku adalah rahmat” bukanlah hadits yang sahih, sebagaimana keterangan para ulama. Bahkan perselisihan dan perpecahan akan membuahkan azab sebagaimana tersebut dalam firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٥ ﴾ [ آل عمران : 105 ]
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 105)
Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kebahagiaan dan kekuatan kaum muslimin akan terwujud apabila kaum muslimin bersatu di atas kebenaran, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla dan para sahabatnya. Bukan sebaliknya, berpecah-belah dengan membuat jalan dan aturan baru dalam menjalankan agama Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Namun perkara yang penting ini pun kemudian disalahpahami oleh sebagian kaum muslimin, sehingga orang yang mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah serta mengingatkan dari kesalahan suatu pemahaman yang diyakini oleh masyarakat, dianggap sebagai orang yang ingin memecah-belah persatuan kaum muslimin atau dianggap meremehkan ulama atau tokoh kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang bukan hanya mengajak kepada kebaikan, namun juga mengingatkan umatnya dari kebatilan begitu pula para ulama yang mengikuti jalannya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun perkara penting yang ketiga adalah kewajiban untuk bersatu di bawah penguasa muslim. Dengan bersatunya kaum muslimin di bawah seorang penguasa, akan terwujud kehidupan yang aman dan terhindar dari kehidupan yang penuh ketidakteraturan. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan prinsip ini dengan menaati aturan penguasanya dalam urusan yang tidak bertentangan dengan syariat. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah memerintahkan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ ﴾ [ النساء : 59]
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri (yaitu ulama dan umara) di antara kalian.” (an-Nisa: 59)
Namun, prinsip bersatu bersama penguasa muslim ini pun telah disalahpahami. Yang dibanggakan dan ditokohkan oleh sebagian kaum muslimin justru orang yang melanggar prinsip ini, yaitu orang yang berani menentang dan menyebutkan kejelekan penguasanya di depan massa. Akibatnya, terjadilah pertumpahan darah. Kehidupan masyarakat pun menjadi tidak aman, kacau, dan penuh keresahan. Semestinya, seseorang yang ingin menasihati penguasanya hendaknya melakukannya secara diam-diam dan tidak di muka umum, sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shubhanahu wa ta’alla.
Demikianlah tiga dari enam perkara penting dalam agama kita. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla senantiasa memberikan kebaikan dan taufiq -Nya kepada kita.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Khutbah kedua:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Melanjutkan pembahasan sejumlah masalah penting dalam agama Islam yang telah disalahpahami oleh banyak kaum muslimin. Perkara penting berikutnya adalah penjelasan tentang ilmu dan ulama. Ilmu yang disebutkan keutamaannya di dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ilmu syar’i, yaitu wahyu yang Allah Shubhanahu wa ta’alla turunkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ilmu inilah, Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memperbaiki hati dan akhlak seseorang serta akan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, ilmu syar’i inilah yang akan mengantarkan seseorang kepada keridhaan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Begitu pula ulama yang dipuji dalam Al-Qur’an dan hadits adalah ulama yang memahami dan mengamalkan serta mengajak kepada agama yang dibawa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh amanah. Tentang ulama, Allah Shubhanahu wa ta’allaberfirman:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ ﴾ [ فاطر: 28]
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba -Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Namun, prinsip ini pun kemudian disalahpahami oleh kebanyakan orang. Jadilah ilmu yang dipahami oleh kebanyakan orang bukanlah firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu yang dipahami oleh kebanyakan orang ternyata justru ucapan dan pendapat seseorang yang tidak ada dasarnya, atau bahkan cerita yang penuh khurafat. Akibatnya, orang semakin jauh dari ilmu syar’i serta semakin sibuk dengan dunia atau sibuk dengan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya. Selain itu, karena salah memahami prinsip ini, banyak orang yang tidak kembali kepada ulama. Mereka justru lebih tertarik dengan orang yang berpenampilan layaknya ulama, padahal dia tidak mengetahui jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadilah setiap orang yang berbicara tentang agama Islam disebut ulama oleh kebanyakan orang. Bisa jadi, karena banyaknya hafalan Al-Qur’an yang dimilikinya atau karya tentang agama Islam yang ditulisnya, seseorang dianggap ulama, padahal dia tidak memahami dengan benar jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
Hadirin rahimakumullah,
Perkara penting yang kelima adalah penjelasan tentang makna wali. Istilah wali telah dijelaskan maksudnya di dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alahi wa sallam. Di antaranya disebutkan dalam firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ٦٣ ﴾ [ يونس: 62-63]
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62—63)
Oleh karena itu, wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan hal-hal yang Allah Shubhanahu wa ta’alla wajibkan serta menyempurnakannya dengan menjalankan amalan-amalan yang sunnah. Namun perkara yang penting ini pun telah disalahpahami, sehingga tanpa melihat ketakwaan dan keimanannya, seseorang disebut wali Allah Shubhanahu wa ta’alla oleh banyak orang. Mereka hanya sebatas bisa melakukan sesuatu yang dilihat luar biasa, seperti tidak terluka ketika dikenai benda tajam atau dilindas mobil, dan yang semisalnya, kemudian mereka anggap wali. Akibatnya, orang-orang yang meninggalkan shalat, berbuat bid’ah dan dosa-dosa besar lainnya—bahkan masih berbuat syirik—diakui sebagai wali, lalu diambil barakah dari tubuhnya dan dikeramatkan kuburannya setelah meninggal. Wal ‘iyadzubillah.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Perkara penting yang keenam adalah penjelasan tentang anggapan salah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dengan benar kecuali oleh ulama yang telah mampu melakukan ijtihad saja. Akhirnya, mereka menganggap bahwa yang selamat bagi keumuman kaum muslimin adalah mengikuti pendapat ulama saja tanpa perlu mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan mereka menganggap bahwa mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan membuat keumuman kaum muslimin akan tersesat.
Tentu saja pernyataan ini adalah anggapan yang salah. Betapa banyak ayat yang memerintahkan seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali untuk mentadaburi Al-Qur’an. Akankah Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hal yang tidak bisa dilakukan? Atau akankah Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sesuatu yang akan mencelakakan diri mereka sendiri? Sungguh kebahagiaan seseorang justru ketika dia mau membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Memang ada hal-hal yang tidak semua orang bisa memahaminya, namun kita bisa menanyakannya kepada para ulama. Adapun meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini adalah sebab celakanya seseorang. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِيٓ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِيرٗا ١٢٥ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ ١٢٦ ﴾ [ طه : 126- 124 ]
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia, “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, maka begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 124—126)
Catatan Kaki: Kami tidak mencantumkan doa pada rubrik “Khutbah Jumat” agar khatib yang ingin membaca doa memilih doa yang sesuai dengan keadaan masing