Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Rasulullah shallalahu ‘alahi wa sallam bersabda kepadaku:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اِقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى كُلِّ شَهْرٍ. قَالَ: قُلْتُ: إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِى عِشْرِيْنَ لَيْلَةً. قَالَ: قُلْتُ: إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَتَزِدْ عَلَى ذلِكَ.» [ أخرجه البخاري ومسلم ]
‘Bacalah al-Qur`an setiap bulan (satu kali khatam).’ Ia berkata: ‘Aku berkata: ‘Sesungguhnya saya mendapat kekuatan (lebih dari itu).’ Beliau shallalahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Bacalah dalam dua puluh malam.’ Ia berkata: ‘Aku berkata: ‘Sesungguhnya saya mendapat kekuatan (lebih dari itu).’ Beliau shallalahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Maka bacalah dalam tujuh hari dan jangan engkau menambah atas hal itu.’[1]
Adz-Dzahaby rahimahullah memberi komentar terhadap hadits tersebut: ‘Shahih bahwa Nabi shallalahu ‘alahi wa sallam menurunkan hingga tiga malam dan melarangnya membaca kurang dari tiga malam.[2] Dan ini pada sesuatu yang telah diturunkan dari al-Qur`an, kemudian setelah sabda beliau ini turun yang tersisa dari al-Qur`an. Maka sekurang kurang tingkatan larangan bahwa dimakruhkan membaca semua al-Qur`an kurang dari tiga hari. Maka tidak bisa memahami dan tidak dapat tadabbur orang yang membaca kurang dari itu. Jika ia membaca dan mentartilkan dalam satu minggu dan istiqamah atas hal itu niscaya merupakan amal ibadah yang utama, agama itu sangat mudah.
Demi Allah, sesungguhnya membaca sepertujuh al-Qur`an secara tartil setiap hari dalam tahajjud qiyamullail, disertai selalu melaksanakan sunnah rawatib, dhuha dan tahiyatul masjid, serta membaca dzikir dzikir yang shahih, bacaan ketika mau tidur dan setelah bangun, setelah shalat wajib dan di waktu sahur, disertai mempelajari ilmu yang bermanfaat dan menyibukkan diri dengannya, ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, serta amar ma’ruf dan nahi mungkar, memberi penjelasan dan pemahaman terhadap orang bodoh, menegur orang fasik dan semisal yang demikian itu. Disertai menunaikan shalat fardhu berjama’ah dengan khusyu’, thuma’ninah dan iman. Disertai menunaikan segala kewajiban dan menjauhi dosa dosa besar, banyak berdo’a dan istighfar, sedekah, silaturrahim, tawadhu’ dan ikhlas dalam semua itu, sungguh merupakan pekerjaan agung lagi sangat besar, maqam ashhabul yamin dan wali wali Allah subhanahu wa ta’ala yang bertaqwa, maka sesungguhnya semua itu dituntut.
Apabila seorang ahli ibadah menyibukkan diri sekali khatam setiap hari, maka sungguh ia telah menyalahi hanifiyyah samhah (jalur agama yang lurus lagi toleran), tidak bisa bangkit melebihi yang telah kami sebutkan, tidak bisa tadabbur terhadap yang dibacanya. Sahabat utama ahli ibadah ini berkata tatkala sudah berusia lanjut: ‘Andaikan aku dahulu menerima keringanan Rasulullah shallalahu ‘alahi wa sallam.’[3]
Dari Musayyab bin Rafi’, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Semestinya pemikul al-Qur`an (yang hapal al-Qur`an) dikenal di malam hari saat manusia tertidur lelap, di siang harinya saat manusia sedang menyantap makan pagi, dengan dukanya saat manusia berbahagia, dengan tangisnya saat manusia sedang tertawa, dengan diamnya saat manusia bersenda gurau, dan dengan khusyu’nya saat manusia menyombongkan diri. Sudah semestinya pemikul al-Qur`an menangis, berduka, santun, bijaksana lagi banyak diam. Dan tidak sepantasnya bagi pemikil al-Qur`an bersikap jafiyan (kaku, tidak akrab), ghafilan (lalai), bersuara keras dan pemarah.[4]
Syu’bah dan Hisyam menceritakan dari Qatadah, dari Yunus bin Jubair, ia berkata: ‘Kami mengunjungi Jundub radhiyallahu ‘anhu, aku berkata: ‘Berilah pesan kepada kami.’ Ia berkata: ‘Aku berpesan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan aku berwasiat kepadamu dengan al-Qur`an, sesungguhnya ia adalah nur (cahaya) di malam hari yang gelap gulita dan petunjuk di siang hari. Amalkanlah dengannya atas yang ada berupa kesusahan dan kekurangan (fakir). Jika ada bala (cobaan) maka berikanlah hartamu bukan agamamu. Maka jika engkau melewati bala maka berikanlah harta dan jiwamu bukan agamamu. Sesungguhnya orang yang hancur adalah yang hancur agamanya dan orang yang dirampas adalah yang dirampas agamanya. Ketahuilah bahwasanya tidak ada kekurangan setelah surga dan tidak ada kekayaan setelah neraka.’[5]
Dari Hammad bin Najih, dari Abi ‘Imran al-Jauny, dari Jundub radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami adalah anak anak yang hampir baligh bersama Rasulullah shallalahu ‘alahi wa sallam, maka kami mempelajari iman sebelum belajar al-Qur`an, kemudian kami belajar al-Qur`an maka kami bertambah iman dengannya.[6]
Dari Hammad bin Zaid, dari ‘Atha` bin Saib, bahwa Abu Abdurrahman berkata: ‘Kami mengambil (belajar) al-Qur`an dari kaum yang mengabarkan kepada kami bahwa apabila mereka mempelajari sepuluh ayat mereka tidak melewatinya kepada sepuluh ayat yang lain sehingga mereka mengetahui apa yang ada padanya. Maka kami mempelajari al-Qur`an dan mengamalkannya. Dan akan datang satu kaum setelah kami yang mempelajari al-