Artikel

Cara Mendakwahi Orang Kafir Agar Mau Masuk Islam


Oleh: Prof. Dr. ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbâd [1]


Metode yang paling jitu dan sempurna untuk mendakwahi


orang-orang kafir agar mereka memeluk agama Islam adalah


metode Al-Qur’ân Al-Karîm, karena hujjah-nya yang jelas, buktinya


yang nyata, petunjuknya yang lurus, dan arahannya yang jelas dan


gamblang.





Ketika kita memperhatikan dengan seksama metode-


metode Al-Qur’ân untuk mendakwahi orang-orang kafir –dengan





perbedaan agama dan madzhab yang ada pada diri mereka –, kita


akan mendapatkan metode-metode tersebut terhimpun pada


beberapa poin berikut[2]:


1. Menjelaskan tentang kebaikan, kesempurnaan dan keindahan


agama Islam dari segi akidah, ibadah dan muamalah. Syaikh


‘Abdul `Azîz bin Bâz rahimahullâh pernah mengatakan, “Kaum


muslimin dan seluruh manusia di dunia pada saat ini sangat


membutuhkan penjelasan tentang agama Islam dan


penampakan keindahan-keindahan Islam serta dijelaskan


hakikat Islam. Demi Allah! Seandainya orang-orang pada saat ini


mengenal agama Islam dan seluruh alam pun mengenal hakikat


Islam, niscaya mereka akan berbondong-bondong untuk masuk


Islam.”[3]


2. Menyebutkan bukti-bukti kebenaran ajaran


Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallamagar siapa saja yang


menghendaki kebenaran dan jujur (terhadap kebenaran itu)


akan mendapatkan petunjuk, dan agar dapat


menegakkan hujjah atas para penentangnya.


3. Mematahkan syubhat orang-orang kafir terhadap agama ini dan


membantah semua hal yang mereka jadikan sebagai hujjah atau


segala sesuatu yang mereka gunakan untuk mendebat kaum





4





muslimin. Al-Qur’ân telah menunjukkan bukti yang paling jelas


dan hujjah yang paling kuat dan cukup untuk menunjukkan


kebenaran dan menumpas kebatilan.


4. Mengingatkan orang-orang kafir akan hukuman yang telah


diperoleh umat terdahulu dan kebinasaan yang Allah timpakan


kepada umat yang membangkang dengan berbagai bentuk


hukuman dan berbagai jenis siksaan.


5. Memberikan peringatan kepada mereka terhadap apa-apa yang





telah Allah siapkan untuk orang-orang kafir berupa hukuman-


hukuman di dunia dan akhirat.





6. Memadukan antara metode targhîb (pemberian motivasi)


dan tarhîb (peringatan dengan menyampaikan ancaman)


dengan cara menyebutkan apa yang akan mereka peroleh jika


mereka masuk Islam, berupa: faidah yang agung, hasil yang


bermanfaat, dan kebaikan yang terus menerus di dunia dan


akhirat. Dan menyebutkan apa yang akan mereka peroleh jika





mereka tetap berada dalam kekafiran, berupa: keburukan-


keburukan yang banyak, bahaya-bahaya yang mengkhawatirkan





dan kerusakan yang berkesinambungan di dunia dan akhirat. Di


antara contoh penerapan metode ini adalah surat


Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamkepada Raja Romawi,


Heraklius. Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengatakan:


(( َ


ك


َ


ر


ْ


ج


َ


أ


اَّلل َُّ


تِكَ


ْ


ؤ


ُ


ي


ْ


م


َ


ل


ْ


س


َ


ت


ْ


لِم


ْ


س


َ


ِم أ


َ


ال


ْ


ِس


ْ


ةِ اإل


َ


ي


َ


ِ ِدَع


ب


َ


وك


ُ


ع


ْ


د


َ


ِ أ


ِ


ِّن


إ


َ


ف


ُ


د


ْ


ع


َ


ا ب


َّ


م


َ


أ





ي ِس


ِ


ر


َْ


اْل


َ


م


ْ


ِث


إ


كَ


ْ


ي


َ


ل


َ


ع


َّ


ِن


إ


َ


ف


ْتَ


َّ


َّل


َ


و


َ


ت


ْ


ِن


إ


َ


ِ ف


ْي ْ


َ


ت


َّ


ر


َ


م





ِْيَ


ِ


ي ((





Artinya: “...Amma ba’du, Sesungguhnya aku menyerumu


dengan seruan Islam. Berislamlah, maka engkau akan selamat


dan Allah akan melipatgandakan pahalamu dua kali. Namun


jika engkau berpaling, engkau akan menanggung dosa para


pengikutmu.”[4]





5





Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dalam


perkataannya ini metode targhîb dantarhîb.[5]


7. Menjelaskan kepada mereka tentang kebatilan yang ada pada





agama mereka, berupa: jenis-jenis kejelekan, kerusakan, akibat-


akibat buruk, kontradiksi, dan kegoncangan.





8. Memperingatkan mereka agar tidak menaati para pemimpin


keburukan dan para penyeru untuk menuju neraka.


Barangsiapa yang mengikuti mereka, sungguh dia pasti akan


menyesal.


9. Mengingatkan mereka atas segala nikmat yang terus-menerus


Allah berikan kepada mereka. Dan menjelaskan kepada mereka


bahwa Allah sendiri yang menciptakan, mengatur, memberikan


nikmat yang zahir (tampak) dan batin (tidak tampak).





Selanjutnya, kita menjelaskan kepada mereka bahwa hanya Dia-


lah yang berhak untuk diibadahi dan ditaati dan tidak diberikan





kepada selain-Nya.


10. Membandingkan antara keindahan dan kesempurnaan yang


ada dalam agama Islam dengan kejelekan, kebodohan, dan


kontradiksi yang ada pada agama mereka.


11. Mendebat mereka dengan ilmu yang mendalam, bukti yang


nyata, dan hujjahyang jelas. (Ibnul-Qayyim berkata), “Terdapat


dua faidah dari perdebatan tersebut:


i. Memalingkan mereka dari kebatilan agar kembali kepada


kebenaran.


ii. Mencegah dari kejelekan dan permusuhan yang ada pada


mereka dan orang-orang memahami bahwa apa yang ada


pada mereka adalah sebuah kebatilan.”[6]


Menghilangkan berbagai pemahaman mereka yang


salah atau gambaran-gambaran (image) yang tidak benar


terhadap agama ini. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena


agama ini sampai kepada sebagian mereka dalam gambaran


yang tidak sebenarnya, dengan sebab kesalahan sebagian orang





6





yang telah memeluk agama ini, di mana mereka tergabung ke


dalam kelompok-kelompok sesat yang mengaku bagian dari


agama Islam atau bisa juga karena kebodohan yang ada pada





sebagian orang yang menukil tentang agama ini kepada orang-


orang yang didakwahi, sehingga tidak tampak roh Islam,





hakikat, keindahan, dan kesempurnaan Islam di hadapan


mereka. Akibatnya, hal tersebut menjadi sebab mereka menarik


diri untuk tidak memeluk Islam dan menolaknya.


Jika gambaran-gambaran (image) yang tidak benar dan


pemahaman yang salah tersebut telah dihilangkan, akan


tampak keindahan Islam di hadapan mereka,


kesempurnaannya, dan jauhnya agama ini dari berbagai bentuk


sifat berlebihan dan penyelewengan.


Suatu ketika Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah didatangi


oleh tiga orang pendeta. Kemudian, ia mendebat mereka dan


menegakkan hujjah atas mereka. Ia menerangkan bahwasanya


mereka orang-orang kafir dan mereka tidak berada di atas


agama Ibrâhîm dan al-Masîh (Nabi ‘Îsâ)‘alaihimassalâm.


Para pendeta tersebut berkata kepada Syaikhul-Islam,


“Kami melakukan sebagaimana yang kalian lakukan. Kalian


menyembah Nafîsah* sedang kami menyembah Maryam,


padahal kita sepakat bahwa al-Masîh dan Maryam lebih utama


daripada Hasan dan Nafîsah. Selain itu, kalian juga memohon


pertolongan di saat genting kepada orang-orang soleh sebelum


kalian dan kami pun demikian.”


Syaikh Islam pun menjawab, “Benar. Siapa saja yang


melakukan hal yang telah kalian sebutkan, maka dia memiliki


keserupaan dengan kalian. Tetapi, itu semua bukanlah agama


yang Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm berada di atasnya.


Sesungguhnya agama yang Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâmberada di


atasnya adalah tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah


semata, Dia tidak memiliki sekutu, tandingan, istri dan anak.


Kami tidak mempersekutukannya dengan malaikat, matahari,





7





bulan dan bintang. Demikian juga, kami tidak


mempersekutukannya dengan salah seorang nabi di antara para


nabi dan tidak juga dengan orang soleh.” Kemudian beliau


menjelaskan kepada mereka tentang tauhid yang dibawa oleh


para nabi dan rasul dan hakikat dari tauhid tersebut.


Beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya tauhid para


nabi dan rasul berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para


pelaku kebatilan tersebut.


Setelah mereka mendengar hal tersebut dari beliau,


mereka pun berkata, “Agama yang engkau sebutkan lebih baik


daripada agama yang kami dan orang-orang tersebut berada di


atasnya.” Setelah itu, mereka pun pergi meninggalkannya.[7]


12. Berlemah-lembut terhadap mereka, berusaha sebisa mungkin


menasehati dan melunakkan hati mereka, dan bersabar dalam


menjalankan semua itu tanpa sikap tergesa-gesa ingin melihat


hasil dan buah dari semua amalan tersebut.


Usaha melunakkan hati mereka memberikan kesan


yang mendalam pada diri mereka. Di antara kesan tersebut


adalah tertariknya hati mereka kepada kebaikan, tumbuhnya


rasa cinta untuk mendapatkan hidayah (petunjuk), dan


timbulnya motivasi untuk memeluk Islam. (Syaikul-Islam


berkata), “Imam Abu Dâwûd meriwayatkan bahwasanya


Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam suatu ketika diminta


melakukan istisqâ’ (memohon turunnya hujan) oleh sebagian


kaum musyrikîn. Beliau pun memenuhi permintaan


mereka.[8] Perbuatan itu merupakan bentuk perbuatan baik


dari Rasul kepada mereka untuk melunakkan hati mereka


dengan memohonkan hujan. Hal tersebut sebagaimana


perbuatan beliau yang lainnya untuk melunakkan hati


mereka.”[9]


Imam Ahmad meriwayatkan dari Shofwân bin


Umayyah radhiallâhu ‘anhu, bahwasanya ia berkata:





8





(( ُ


س


َ


ِّن ر


ا


َ


ط


ْ


ع


َ


أ





ض ُ


َ


غ


ْ


ب


َ


ْل


ُ


ه


َّ


ٍ ِإَون


ْي ْ


َ


ن


ُ


ح


َ


م


ْ


و


َ


ي


ْ


م


َّ


ل


َ


س


َ


هِ و


ْ


ي


َ


ل


َ


ع


اَّلل َُّ


َّ


َّل


ِ صَ


اَّلل َّ


ُ


ول


َّ


َ


ِىل


ا ِس إ


َّ


انل





َّ


َ


ِىل


ا ِس إ


َّ


انل


ُّ


ب


َ


ح


َ


ْل


ُ


ه


َّ


ِن


إ


َ


ار


صَ


َّت َّ


َ


ِِن ح


ِطي


ْ


ع


ُ


ي


َ


ال


َ


ا ز


َ


م


َ


ف ((


Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan


suatu pemberian kepadaku saat perang Hunain. Padahal, pada


saat itu beliau merupakan manusia yang paling aku benci.


Setelah itu, Rasulullah terus memberikan pemberian kepadaku


hingga jadilah beliau manusia yang paling aku cintai.”[10]





Imam Al-Bukhâri meriwayatkan di dalam kitabnya Al-


Adabul-Mufrad dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Mujahid,





bahwasanya ia berkata:





(( ً


اة


َ


ش


ُ


خ


ُ


ل


ْ


س


َ


ي


ُ


ه


ُ


م


َ


ال


ُ


غ


َ


و و


ٍ


ر


ْ


م


َ


ِ ع


ن


ْ


ِ ب


ِد اَّلل َّ


ْ


ب


َ


ع


َ


د


ْ


ِعن


تُ


ْ


ن


ُ


ك -


َ


ال


َ


ق


َ


ف :


ُ


م


َ


ال


ُ


ا غ


َ


ي





ِ


ودِيِ


ُ


ه


َ


ْ


ا اَّل


َ


ن


ِ


ار


َ


ِِب


ْ


أ


َ


د


ْ


اب


َ


ف


تَ


ْ


غ


َ


ر


َ


ا ف


َ


إ - ِم ِذ


ْ


و


َ


ق


ْ


ال


ِمنَ


ٌ


ل


ُ


ج


َ


ر


َ


ال


َ


ق


َ


ف :


ودِيُّ


ُ


ه


َ


ْ


اَّل





اَّلل َُّ


كَ


َ


ح


َ


ل


صْ


َ


أ -


َ


ال


ق : صَّل اَّلل َ


ِِبَّ


َّ


انل


تُ


ْ


ِمع


َ


ِ س


ِ


ِّن


إ





ِ


ار


َ


ْ


ِاْ


وِِب


ُ


عليهوسلم ي





ُ


ه


ُ


ث


ِ


ِ


ر


َ


و


ُ


ي


َ


س


ُ


ه


َّ


ن


َ


ا أ


َ


ِين


ئ


ُ


ر


ْ


و


َ


ا أ


َ


ِشين


َ


خ


َّت َّ


َ


ح ((


Artinya: Suatu ketika saya bersama ‘Abdullâh bin ‘Amr, anak


laki-lakinya yang masih kecil sedang menguliti kambing.


‘Abdullah pun berkata, “Wahai anakku! Apabila engkau telah


selesai, mulailah bersedekah dengan tetangga kita yang


beragama Yahudi!” Lalu seorang laki-laki dari kaumnya


berkata, “Orang Yahudi?! Semoga Allah memperbaiki


keadaanmu.” Beliau pun menjawab, “Saya telah mendengar


Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berwasiat agar berbuat


baik dengan tetangga sehingga kami khawatir atau kami


mengira bahwasanya beliau akan menjadikannya sebagai ahli


warisnya.’”[11]





9





Membujuk orang yang didakwahi, berlemah lembut


terhadap mereka, berbuat baik kepada mereka dan perbuatan


lain yang semisalnya, memiliki bekas yang mendalam pada diri


mereka sehingga menjadikan mereka mau menerima kebaikan


dan merasa puas dengannya.





[1] Diterjemahkan dari ‘Bab Tharîqatu Da’watil-Kuffâri Ilal-


Islâm’ dalam buku beliau yang berjudul ‘Makânatud-Da’wati ilallah





wa Asas Da’wati Ghairil-Muslimîn’ oleh Abu Ahmad Said Yai.


[2] Lihat Al-Qawâ’idul Hisân Al-Muta-a’lliqah bi Tafsîril Qur-ân hal. 9.


[3] Majmû’ Muallafâtis-Syaikh Ibni Bâz (I/338)


[4] ShahîhAl-Bukhâri no. 7.


[5] Lihat Fathul-Bâri (I/39).


[6] Ash-Shawâ’iqul-Mursalah (IV/1276).


* Dia adalah Nafîsah binti Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin ‘Ali bin


Abi Thâlib. Beliau meninggal pada tahun 208 H, berumur 85 tahun


dan dimakamkan di Mesir . Beliau adalah wanita yang solehah,


terkenal dengan ibadah, sedekah dan kezuhudannya. Beliau


bertemu dengan Imam Asy-Syâfi’i, bahkan diriwayatkan bahwa


Imam Asy-Syâfi’i memperdengarkan beberapa hadîts kepada beliau.


Banyak orang yang mengunjungi kuburan beliau dan berdoa kepada


beliau, karena memandang kuburan beliau memiliki keberkahan dan


tempat mustajab untuk berdoa. (Lihat:Wafayâtul-A’yân libni


Khalkân (V/423-424), Al-Wâfi bil-wafayât lish-Shafadi (VII/358)


danBidâyah wan-Nihâyah libni Katsîr (X/286). ) (Tambahan dari


penerjemah)


[7] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ (I/370-371).


[8] Berkata penulis: “Saya tidak menemukan riwayat seperti ini di


dalam kitab Sunan Abu Dâwûd. Imam Al-Bukhâri meriwayatkan


semisal hadîts ini di dalam kitab Shahîh-nya no. 4821 dari ‘Abdullâh





10





bin Mas’ûd radhiallâhu ‘anhu, disebutkan di dalam hadîts tersebut,


“Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wasallam didatangi dan dikatakan


kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah! Mohonkanlah kepada Allah agar


menurunkan hujan untuk Mudhar.’ Beliau berkata: ‘Untuk Mudhar!


Berani sekali kamu (memintaku untuk memohonkan rahmat bagi


kaum musyrikîn -pent).’ Beliau pun memohonkan hujan dan


dikabulkan....” (Al-Hadîts)


 



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i