Artikel




Sifat Haji Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa


sallam


Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam


semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku


bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar


melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada


sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad


Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya.


Amma ba'du:


Telah sampai pada kita hadits-hadits shahih yang


menjelaskan akan keutamaan ibadah haji, disebutkan diantaranya


sebagai penghapus dosa. Salah satunya sabda Nabi Muhammad


Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:





 "Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga". HR


Bukhari no: 1773. Muslim no: 1349.


Adapun yang dinamakan dengan haji mabrur ialah haji yang


terkumpul didalamnya tiga kriteria:


3


 


4


Pertama :   Ikhlas karena Allah azza wa jalla.  


Kedua : Dikerjakan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad


Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau:


 


"Hendaknya kalian mengambil manasik kalian (dariku), karena aku


tidak mengetahui, barangkali aku tidak melakukan ibadah haji


kembali setelah hajiku ini".  HR Muslim no: 1297.


 


Adapun yang  


ketiga: Terbebas dari perkara-perkara yang dapat merusak atau pun


mengurangi ibadah hajinya.


Sedangkan tata cara pelaksanaan ibadah haji secara ringkas,


sebagai berikut:


1. Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah).


Apabila masuk pada hari tarwiyah yaitu hari kedelapan


pada bulan Dzul Hijjah, dianjurkan bagi orang-orang yang telah


bertahalul dari umrahnya, sedang mereka berniat haji Tama'tu


maka hendaknya dia mengenakan ihram kembali serta berniat


haji dikala waktu dhuha dari tempatnya masing-masing. Begitu


pula bagi orang yang ingin berhaji dari jama'ah penduduk asil


Makkah. Sedang jama'ah haji yang berniat haji Qiran dan Ifrad,


dimana mereka belum tahalul dari ihramnya maka mereka


masih dalam keadaan niat ihramnya yang pertama dahulu.


Adapun para jama'ah haji yang baru datang ke kota


Makkah pada hari kedelapan, maka mereka harus memulai


ihramnya dari miqatnya masing-masing. Dan ini merupakan


kewajiban dari kewajiban-kewajiban haji yang tidak boleh


ditinggal, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu


‘alaihi wa sallam:





 "Dari sana orang memulai ihram, bagi orang yang ingin


melakukan haji dan umrah, dan bagi siapa saja yang bukan


ahlinya lalu datang melewatinya".  HR Bukhari no: 1524.


Muslim no: 1181.


Catatan: Yang dimaksud dengan berihram ialah berniat


untuk masuk dalam rangkaian manasik, dan ini merupakan


rukun dari rukun-rukun haji yang ada. Sehingga siapapun yang


meninggalkan niat ini maka hajinya tidak sah. Berdasarkan


sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:





 "Hanyalah amalan tersebut sesuai dengan niat-niatnya, dan


bagi setiap orang (akan mendapat pahala) selaras dengan apa


yang dia niati". HR Bukhari no: 1. Muslim no: 1907.


Dan miqat ini berlaku bagi setiap orang yang ingin berhaji atau


umrah, sama saja baik dia melewatinya melalui jalur udara,


laut atau pun jalur darat. Sedangkan orang yang sudah berada


didalam jarak miqat maka dirinya berihram dari tempat


tinggalnya, seperti penduduk Jeddah, Bahrah ataupun lainnya.


Bagi jama'ah haji yang melintasi miqat dari jalur udara


dan dirinya khawatir akan terlewat miqatnya, maka hendaknya


dia berihram sebelumnya sesuai dengan waktu yang tepat agar


dirinya bisa merasa yakin telah berihram dari miqat atau


memajukan sedikit sebelumnya. Dan disunahkan baginya


untuk mandi sebagaimana halnya dia mandi untuk hadats


besar, lalu memakai minyak wangi yang ia miliki dan kalau bisa


yang paling harum, dengan diusapkan pada rambut dan


jenggotnya.


Kemudian memakai kain ihram yang berwarna putih,


adapun wanita maka dibolehkan baginya untuk memakai


6


pakaian yang ia kehendaki, dengan catatan tidak mengumbar


tubuh serta auratnya. Selanjutnya mengerjakan sholat wajib,


jika pas bertepatan dengan datangnya waktu sholat agar


dirinya bisa niat masuk ibadah haji setelah sholat tersebut, dan


apabila diluar waktu sholat, namun, ada diwaktu yang


dibolehkan untuk mengerjakan sholat sunah maka tidak


mengapa dirinya sholat sunah terlebih dahulu, baru setelah


selesai sholat dirinya niat masuk ibadah haji.


2.


kemudian dia mengucapkan:





 "Aku sambut panggilan -Mu, ya Allah, aku sambut panggilan


Mu. Aku sambut panggilan -Mu, tiada sekutu bagi -Mu, aku


sambut panggilan -Mu. Sesungguhnya segala puji,


kenikamatan serta kerajaan adalah milik -Mu, tiada sekutu


bagi -Mu. Aku sambut panggilan -Mu untuk menunaikan


ibadah haji".  


Bagi laki-laki mengucapkannya dengan suara keras, sedang


perempuan dengan lirih. Dan disunahkan untuk terus


membaca bacaan talbiyah ini, tidak memutusnya, baru ketika


7


akan melempar jumrah Aqabah pada hari raya maka talbiyah


ini terputus.  


3.


4.


Selanjutnya:


Dirinya pergi menuju Mina, menetap disitu dengan sholat


dhuhur, ashar, maghrib, isya dan shubuh disana. Mengerjakan


sholat yang empat raka'at dengan cara diqashar (diringkas),


namun, tidak boleh dijama' (gabungkan). Sedangkan hukum


berdiam diri (mabit) di Mina pada hari kedelapan adalah


sunah.


Apabila terbit matahari para hari kesembilan:


Maka para jama'ah haji bergerak pergi menuju ke Arafah, kalau


bisa dirinya beristirahat sejenak di Namirah sampai matahari


tergelincir, jika tidak memungkinkan maka dirinya langsung


menuju ke Arafah. Jika matahari tergelincir dirinya sholat


dhuhur dan ashar dengan cara di jama' (gabung) dan di qashar


(ringkas).


Seusai sholat,


 ia pergunakan waktu serta


mengoptimalkannya untuk berdzikir kepada Allah Shubhanahu


wa ta’alla serta berdo'a dengan menghadap ke kiblat,


walaupun gunung berada di belakangnya, dan hal itu dia


8


 


9


lakukan sampai matahari terbenam. Adapun hukum wukuf


(berdiam diri) di Arafah adalah rukun dari rukun-rukun haji


yang ada, karena Allah Shubhanahu wa ta’alla telah


mengatakan dalam firman     -Nya:





"Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafath". (QS al-Baqarah:


198).


Maka bertolak dari Arafah baru bisa dikatakan demikian


setelah berhenti di sana, dan berdiam di Arafah adalah rukun


haji yang adabila ketinggalan maka tidak mendapati haji,


berdasarkan haditsnya Abdurahman bin Ya'mar radhiyallahu


'anhu, beliau bercerita:


 


"Aku menjumpai Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam


sedang wukuf di Arafah, lalu ada sekelompok orang


mendatangi beliau dari ahli Nejed, kemudian mereka


mengatakan: "Ya Rasulallah, bagaimana cara haji? Beliau


menjawab: "Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang


(untuk wukuf) sebelum sholat shubuh pada malam Muzdalifah


(dilaksanakan), maka hajinya telah sempurna". HR Ibnu Majah


no: 3015.


Mundzir menjelaskan: "Para ulama telah bersepakat


bahwa wukuf di Arafah adalah wajib, yang tidak sah ibadah haji


seseorang melainkan harus wukuf di Arafah".1 Dijelaskan oleh


para ulama bagi orang yang ketinggalan wukuf di Arafah pada


hari ke sembilan dan malam ied, maka orang tersebut tidak


memperoleh ibadah haji, adapun kewajiban dia adalah


menjadikan manasiknya menjadi umrah kemudian dia wajib


mengqadha hajinya pada tahun berikutnya.


Adapun wukuf di Arafah sampai tenggelam matahari bagi


jama'ah haji yang telah wukuf pada siang harinya, maka


hukumnya adalah wajib dari kewajiban-kewajiban haji,


berdasarkan haditsnya Jabir radhiyallahu 'anhu, ketika


mensifati hajinya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.


Dijelaskan dalam hadits tersebut: "Maka beliau terus wukuf (di


Arafah) sampai matahari tenggelam. Hingga warna kekuning


1


 . Al-Ijma' karya Ibnu Mundzir hal: 64.


10


 


11


kuningannya hilang dan bola matahari betul-betul tenggelam".


HR Muslim no: 1218.


Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah


bersabda:


 


"Hendaknya kalian mengambil manasik kalian (dariku), karena


aku tidak mengetahui, barangkali aku tidak melakukan ibadah


haji kembali setelah hajiku ini".  HR Muslim no: 1297.


 


5. Setelah matahari telah tenggelam maka:


Dirinya pergi menuju Muzdalifah dan mengerjakan sholat


maghrib tiga raka'at dan Isya dua raka'at di sana. Seusai sholat


shubuh pada keesokan harinya, maka waktunya disibukan


untuk berdzikir kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla serta


berdo'a kepada -Nya sampai matahari terbit. Adapun hukum


bermalam di Muzdalifah adalah wajib dari kewajiban


kewajiban haji, karena Allah ta'ala mengatakan dalam firman


Nya:





"Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada


Allah di Masy'arilharam".  (QS al-Baqarah: 198).


Sedang yang dimaksud dengan Masy'arilharam dalam


ayat ialah Muzdalifah. Demikian pula berdasarkan perbuatan


Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam karena  beliau


bermalam di Muzdalifah sampai pagi, dan beliau memberi


keringanan bagi orang-orang yang lemah dari kalangan wanita


dan anak kecil untuk bertolak dari Muzdilafah setelah tengah


malam menuju Mina. Maka dispensasi (keringanan) beliau


terhadap mereka menunjukan bahwa bermalam di Muzdalifah


adalah wajib hukumnya, karena jika sekiranya tidak wajib tentu


tidak perlu adanya dispensasi.    


 


6. Apabila mentari sudah sangat kuning, maka:


Dirinya pergi menuju Mina, dan bila telah sampai disana,


pertama kali ibadah yang dia lakukan ialah melempar jumrah


Aqabah yang tempatnya paling dekat berada dengan


perbatasan Makah. Melemparnya dengan tujuh butir kerikil


secara bergantian, dan batu kerikil yang digunakan tak lebih


dari seujung jari. Pada setiap lemparan dibarengi dengan


takbir, hal tersebut dilakukan secara khusyu' dan


mengagungkan Allah tabaraka wa ta'ala. Sedang waktu


melempar yaitu pada hari besar haji, dilakukan sebelum


tergelincirnya matahari atau sebelumnya sampai malam hari.


Hal tersebut berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu


'anhuma, beliau mengatakan: "Adalah Rasulallah Shalallahu


‘alaihi wa sallam, ketika hari Nahr (menyembelih) tatkala


berada di Mina, beliau ditanya (tentang manasik) maka beliau


menjawabnya: "Tidak mengapa".


Ada seorang yang bertanya pada beliau: "Aku telah


memotong rambut sebelum menyembelih". Beliau menjawab:


"Sembelihlah, tidak mengapa". Ada seorang lagi yang bertanya:


"Aku melempar Jumrah setelah sore berlalu". Beliau


menjawab: "Tidak mengapa". HR Bukhari no: 1735. Muslim no:


1306.


7.


Seusai melempar jumrah:


Amalan berikutnya adalah menyembelih hewan


kurbannya. Yang berupa satu ekor kambing atau satu ekor onta


atau sapi untuk tujuh orang. Dan menyembelih kurban ini


hukumnya adalah wajib bagi jama'ah haji yang berhaji Tamatu'


dan Qiran. Berdasarkan firman Allah ta'ala:


13





"Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam


bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi


jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka


wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila


kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian


itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak


berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk


kota Mekah)".  (QS al-Baqarah: 196).


 


Jika dirinya tidak mampu untuk berkurban maka


kewajibannya ialah berpuasa tiga hari selagi dirinya dalam


masa haji kemudian ditambah tujuh hari lagi tatkala dirinya


sudah pulang ke negerinya. Dan disunahkan supaya dirinya ikut


memakan daging sembelihannya, dihadiahkan dan


menyedekahkan pada orang lain. Berdasarkan firman Allah


ta'ala:





"Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah


untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir". (QS al-Hajj: 28).


Adapun waktu menyembelih sangat panjang, menurut


pendapat yang kuat, dimulai dari hari raya sampai


tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas dihari-hari


tasyriq (hari 10, 11, 12, 13).


Sedangkan tempat menyembelih, maka dibolehkan untuk


menyembelih dimanapun berada, karena seluruh Mina adalah


tempat menyembelih, demikian pula kota Makkah.


Berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa


sallam:





 "Mina, seluruhnya tempat untuk menyembelih. Dan tipa


lembah Makah adalah jalan serta tempat menyembelih.


Seluruh Arafah tempat untuk berwukuf, dan seluruh


Muzdilafah juga tempat untuk berwukuf". HR Ibnu Majah no:


3048. Di nilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibni


Majah 2/180 no: 2473.     


15


8.


Jika telah selesai menyembelih hewan kurbanya, maka:


Dirinya bersegera untuk mencukur seluruh rambut


(gundul) atau memendekannya. Dan mencukur seluruh rambut


itu lebih utama, kecuali wanita maka dia hanya memotong


rambutnya seujung jari saja. Karena Nabi Muhammad


Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendo'akan untuk memperoleh


rahmat dan ampunan bagi orang-orang yang gundul sebanyak


tiga kali, sedang bagi orang yang hanya memendekan cuma


satu kali saja. HR Bukhari no: 1727. Muslim no: 1301.


Seusai melempar jumrah Aqabah, mencukur rambut atau


memendekannya, maka dibolehkan bagi jama'ah haji untuk


mengerjakan yang tadinya dilarang ketika berpakaian ihram,


kecuali wanita (bersetubuh). Dan kondisi saat itu dinamakan


dengan tahalul pertama. Apabila sudah bertahalul yang


pertama maka disunahkan baginya supaya memakai minyak


wangi, berdasarkan perkataannya Aisyah radhiyallahu 'anha,


yang mengkisahkan:





"Adalah saya memakaikan minyak wangi pada Rasulallah


Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika pertama kali ihramnya, dan


seusai tahalul pertama sebelum melakukan thawaf di Ka'bah".


HR Bukhari no: 1539. Muslim no: 1189.


 


9. Selanjutnya:


Dirinya pergi menuju Makkah untuk melaksanakan


thawaf ifadhah (thawaf untuk haji). Dan thawaf ini adalah


rukun dari rukun-rukun haji, berdasarkan firman Allah tabaraka


wa ta'ala:





"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu


(Baitullah)".  (QS al-Hajj: 29).


 


Demikian pula berdasarkan sebuah riwayat dari Aisyah


radhiyallahu 'anha, yang mengkisahkan: "Bahwa Nabi


Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, manakala mendapati


Shafiyyah haid, beliau berkata: "Apakah dia akan mencegah


kita? Maka Aisyah mengabarkan: "Ya Rasulallah, sesungguhnya


dia telah melakukan thawaf Ifadhah dan tahwaf disekeliling


Ka'bah, kemudian dia baru haid". Beliau mengatakan: "Kalau


demikian maka tidak mengapa". Dalam redaksinya Imam


Muslim beliau berkata: "Tidak mengapa, suruhlah dia


 


18


berangkat (untuk pulang)". HR Bukhari no: 1757. Muslim no:


1211.  


Hadits diatas menunjukan bahwa tahwaf ifadhah ini


adalah perkara yang harus dikerjakan oleh jama'ah haji, dan


tahwaf ini bisa menjadi penyebab mencegahnya dia untuk


berada di Makkah sampai dirinya melakukan thawaf. Ibnu


Qudamah menjelaskan: "Dan thawaf ini adalah rukun diantara


rukun-rukun haji, yang tidak akan sempurna ibadah haji


seseorang melainkan harus melakukankannya, dan kami tidak


menjumpai adanya perbedaan pendapat didalam masalah ini.


karena Allah ta'ala mengatakan dalam firman -Nya:


 


"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu


(Baitullah)". (QS al-Hajj: 29). 1F


 2


 


Dalam thawaf ifadhah ini tidak disyari'atkan untuk melakukan


lari-lari kecil tidak pula idhthiba', kedua perkara ini hanya


disyari'atkan pada thawaf Qudum (ketika pertama kali datang).


Selanjutnya melakukan sa'i dan sa'i ini adalah untuk


ibadah hajinya jika dirinya bertamatu karena sa'inya yang


                                                           


2 . Al-Mughni 5/311.


pertama kali adalah untuk ibadah umrahnya. Dan sa'i haji ini


adalah rukun dari rukun-rukun haji, berdasarkan sabda Nabi


Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:





 "Bersa'ilah kalian, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas


kalian untuk bersa'i". HR Ahmad 45/367 no: 27368.  


Adapun bagi jama'ah haji yang memilih Qiran dan Ifrad


maka tidak ada baginya kewajiban melainkan sa'i sekali, yang


apabila dirinya telah melakukan sa'i seusai thawaf Qudumnya


maka sa'i tersebut sudah mencukupi untuk sa'i haji setelah


thawaf ifadhah. Kalau belum melakukan sa'i ketika itu maka dia


harus sa'i setelah thawaf ifadhah. Setelah selesai thawaf dan


sa'i maka dirinya telah bertahalul, yang kedua, dan dirinya


sudah dibolehkan melakukan apapun yang tadinya dilarang


ketika berihram, sampai wanita sekalipun.  


Ringkasan amalan jama'ah haji yang harus dikerjakan tatkala hari


raya, yaitu: Melempar jumrah Aqabah, menyembelih hewan kurban,





bercukur atau memendekan, thawaf, dan sa'i. Sunahnya adalah


mengerjakan sesuai urutan tadi, namun, jika tidak memungkinkan


lalu dirinya mengerjakan lebih dahulu satu sama lainnya maka tidak


mengapa.    


 


 


 


1. Kemudian:


Para jama'ah haji mabit di Mina pada malam-malam


tasyrik selama tiga hari berturut-turut, ini bagi jam'ah yang


mengakhirkan, adapun bagi orang yang ingin ta'ajul maka


cukup dua malam saja. Berdasarkan firman Allah ta'ala:


 


"Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang


berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua


hari, maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan


(keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya,


bagi orang yang bertakwa". (QS al-Baqarah: 203).


 


Berdasarkan perbuatannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi


wa sallam, yang bermalam pada malam-malam tasyrik selama


tiga hari di Mina.  


Dan hukum bermalam di Mina ini adalah wajib dari


kewajiban-kewajiban haji, kecuali bagi para pemberi minum


jama'ah haji dan para penggembala maka ada keringan untuk


mereka tidak mabit disana. Hal tersebut berdasarkan haditsnya


al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu dalam Bukhari


dan Muslim, beliau mengatakan: "Bahwasannya dia meminta


izin pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk


bermalam di Makkah pada malam-malam Mina karena ada


perkerjaan memberi minum jama'ah haji, maka beliau


mengizinkannya". HR Bukhari no: 1634. Muslim no: 1315.


Demikian juga berdasarkan haditsnya Ashim bin Adi


radhiyallahu 'anhu, beliau mengabarkan:  


"Bahwasannya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi


keringanan bagi para penggembala untuk bermalam di Mina,


melempar pada hari raya, dan dua hari setelahnya untuk


melempar pada salah satu hari dari keduanya". HR an-Nasa'i


no: 3069. Dinyatakan shahih al-Albani dalam sunan an-Nasa'i


2/642 no: 2874.


21


Maka adanya keringan ini menunjukan bahwa mabit di


Mina pada malam-malam tersebut adalah wajib selain untuk


para pemberi minum jama'ah haji dan penggembala. Dan yang


semisal dengan mereka yang mengharuskan untuk tetap


tinggal diselain Mina.  


2.


Kemudian amalan pada hari itu adalah:


Para jama'ah haji melempar tiga jumrah pada dua hari


berikutnya, yang dilakukan setelah matahari tergelincir. Dan


melempar tiga jumrah pada hari tersebut adalah wajib dari


kewajiban-kewajiban haji, dan tidak boleh baginya untuk


melempar sebelum matahari tergelincir. Karena Nabi


Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melempar


kecuali setelah tergelincir. Kalau sekiranya melempar sebelum


tergelincir dibolehkan tentu beliau melakukannya dalam


rangka memudahkan bagi umatnya.


Oleh karena itu Ibnu Umar mengatakan: "Kami menanti


waktu yang tepat dan ketika matahari mulai tergelincir maka


kami segera melempar (jumrah)". HR Bukhari no: 1746. Dalam


kesempatan lain beliau mengatakan: "Janganlah engkau


melempar ketiga jumrah pada hari-hari tasyrik sampai kiranya


matahari tergelincir". Muwatha Imam Malik no: 1279.


22


Dimulai dengan melempar jumrah sughra (yang kecil),


tempatnya diantara ketiga jumrah adalah yang paling jauh dari


Makkah, maka dirinya melempar dengan sebanyak tujuh kerikil


secara berurutan, sambil bertakbir pada setiap lemparan, dan


diharuskan kerikilnya masuk ke dalam lubang, jika tidak masuk


maka belum terhitung. Kemudian setelah selesai dirinya maju


sedikit ke depan dari kumpulan manusia, dengan mengangkat


tangan dan menghadap kiblat, berdo'a kepada Allah ta'ala


sesuai dengan apa yang ia kehendaki.


Lalu dirinya melanjutkan melempar jumrah wustha (yang


berada ditengah), lantas diam sejenak untuk berdo'a


sebagaimana yang ia lakukan pada jumrah pertama.


Selanjutnya melempar jumrah yang ketiga yaitu jumrah


Aqabah yang telah ia lempar pada hari raya, caranya sama


seperti dua jumrah sebelumnya, akan tetapi, setelah selesai


tidak berhenti untuk berdo'a, namun, dirinya terus berlalu.


Kemudian pada hari berikutnya, dihari-hari tasyrik, dirinya


melempar ketiga jumrah kembali, setelah matahari tergelincir,


dan caranya sama persis seperti yang dilakukan pada hari


pertama. Melakukan pada jumrah pertama dan kedua seperti


yang dilakukan pada hari pertama. Dan kalau dirinya


berkehendak maka boleh dia mengakhirkan untuk tetap di


23


 


24


Mina pada hari ketiga belasnya, dengan melempar ketiga


jumrah yang ketiga kalinya, dan ini hukumnya lebih utama.


Karena itulah yang dilakukan oleh Rasulallah Shalallahu ‘alaihi


wa sallam. Begitu pula, akan menambah pahala amal sholeh.


Namun, kalau dirinya mau, maka boleh baginya untuk


bersegera meninggalkan Mina, dengan catatan dirinya keluar


dari Mina pada hari ke dua belasnya sebelum matahari


tenggelam. Dan bagi para jama'ah yang tidak mampu untuk


melempar, seperti halnya orang tua, orang sakit, anak kecil,


wanita hamil, atau yang semisal dengan mereka maka boleh


mewakilkan pada orang lain untuk melemparkan untuknya.


Berdasarkan firman Allah ta'ala:



 





"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu". (QS


at-Taghaabun: 16).


 


Dan hendaknya dia memperbanyak takbir dan berdzikir kepada


Allah Shubhanahu wa ta’alla pada hari dan malam-malam


tersebut. berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:



 





"Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang


berbilang".  (QS al-Baqarah: 203).


Demikian pula berdasarkan sabdanya Nabi Muhammad


Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:





 "Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan, minum dan dzikir kepada


Allah azza wa jalla". HR Muslim no: 1141.


Apabila jama'ah haji sudah mengerjakan semua amalan


haji yang kita sebutkan diatas dan ingin segera pulang ke


negerinya maka: Dirinya tidak keluar dari Makkah sampai


dirinya thawaf disekeliling Ka'bah yang dinamakan dengan


thawaf Wada' (perpisahan), dan menjadikan thawafnya ini


sebagai amalan terakhir sebelum dirinya safar ke negerinya.


Dan hukum thawaf ini adalah wajib dari kewajiban-kewajiban


haji yang ada. Karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa


sallam melakukan thawaf ini sebelum keluar dari Makkah, dan


juga berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,


yang mengatakan:





 "Manusia diperintahkan supaya menjadikan amalan terakhir di


Ka'bah, kecuali bagi orang yang sedang haid maka di beri


keringanan padanya". HR Bukhari no: 1755. Muslim no: 1328.


Dan rukhsah yang diberikan bagi wanita yang sedang haid untuk


tidak melakukan thawaf wada' maka hal ini menunjukan bahwa


thawaf tersebut adalah wajib hukumnya. Dan yang semisal dengan


haid hukumnya dalah wanita yang sedang nifas. Berdasarkan


haditsnya Aisyah radhiyallahu 'anha, yang mengabarkan: "Bahwa


Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Shafiyyah


haid. Maka beliau mengatakan: "Apakah dia akan mencegah kita?


Namun, manakala beliau diberitahu bahwasannya dia sudah


melakukan thawaf ifadhah pada hari raya maka beliau bersabda:


"Keluarlah kalian".  


Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu


wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah


Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad


Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para


sahabatnya.


26


 


27


 


 



 



Tulisan Terbaru

Syarat-Syarat Orang Y ...

Syarat-Syarat Orang Yang Meruqyah Dan Yang Diruqyah

Syarah Makna Salah Sa ...

Syarah Makna Salah Satu Asmaul Husna (As-Syafi)