
Refleksi Kehidupan Salafusoleh
Dalam Berinteraksi Dengan Ayat-ayat al-Quran
Sungguh generasi pendahulu kita dengan sadar telah menikmati sensasi ayat
ayat al-Quran dan sunah Nabi. Mereka mengamalkannya dalam praktek
keseharian. Kehidupan di luar masjid tidak membuat mereka tidak
menjalankannya. Mereka tidak memisahkan dan menjadikan aktivitas
kehidupan amaliah (duniawi) sebagai satu sisi dan agama pada sisi yang lain,
tetapi keduanya saling melengkapi. Interaksi mereka dengan ayat-ayat qurâni
dan sunah nawabi nampak dalam aktivitas gerak dan diam mereka.
Abdullah Ibn Umar respek dengan firman Allah ,
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali Imran:92)
Ketika mendapatkan sesuatu yang amat disukainya pada hartanya, serta-merta
ia jadikan harta itu sebagai taqarub (pendekat) kepada Allah .
Budak-budak Ibnu Umar menyadari hal itu. Hingga salah seorang di antara
mereka ada yang sengaja berdiam diri di masjid. Ketika Ibnu Umar melihatnya
dalam keadaan demikian, diapun memerdekakan budak itu. Atas sikapnya itu,
sebagian orang ada yang berkata kepadanya,
“Budak-budak itu hanya menipumu!”
Ibnu Umar menjawab:
“Siapa yang menipu kami untuk Allah, kami akan membiarkan seolah
kami tertipu untuknya.” .
Ibnu Umar memiliki budak perempuan yang begitu disayanginya. Tetapi diapun
memerdekakan budak itu dan menikahkannya dengan Nâfi’, budak yang juga
telah dimerdekakannya sebelumnya.
Ibnu Umar berkata:
“Sesungguhnya Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali
Imran:92)
Pernah Ibnu Umar membeli unta jantan dan merasa takjub ketika
menungganginya. Diapun berkata kepada ajudannya:
“Wahai Nâfi’, jadikan unta ini sebagai sedekah.”
٣
Pada kesempatan yang lain, Ibnu Ja’far (seorang saudagar) ingin membeli Nafi’,
budak lelaki Ibnu Umar sebesar 10.000 dirham atau lebih dari itu. Ibnu Umar
berkata:
“Aku telah memerdekakannya, dia bebas untuk Allah.”
Pada waktu yang lain Ibnu Umar membeli seorang budak dengan harga 40.000
dirham kemudian dimerdekakannya. Setelah dimerdekakan budak itupun
berkata:
“Wahai tuanku, engkau telah memerdekakanku, maka berilah aku
sesuatu agar aku bisa hidup.”
Ibnu Umar pun memberinya 40.000 dirham.
Pada waktu yang lain Ibnu Umar membeli 5 orang budak. Manakala dia sedang
shalat kelima budak itu turut shalat di belakangnya. Ibnu Umarpun bertanya
kepada mereka:
“Untuk siapa kalian melakukan shalat ini?”
“Untuk Allah!” Jawab mereka.
Mendengar jawaban mereka Ibnu Umar berkata:
“Kalian merdeka untuk Dia yang kalian shalat kepada-Nya.” Ibnu
Umarpun memerdekakan mereka semua.
[Al-bidayah wa an-Nihayah 6/9]
Ayat:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali
Imran:92)
Jika dipraktekkan di era kita sekarang ini, maka tidak akan lagi ditemukan
seorang miskin atau terlantar pun di tengah masyarakat muslim, walau hanya
10% saja dari mereka yang mempraktekkannya.
*****
Ali Ibn al-Husain respek dengan firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS.Ali
Imran:134)
Abdurrazzak berkata,
“Budak perempuan Ali Ibn al-Husain menuangkan air kepada Ali untuk
berwudhu, tetapi bejana yang dipegangnya terlepas dari tangannya
sehingga mengenai wajah Ali. Diapun mendongak (menatap tajam)
kepada budaknya itu. Maka berkatalah budak perempuan itu menyitir
ayat dalam surat Ali Imran:
“Sesungguhnya Allah berfirman:
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya..”
“Aku telah menahan amarahku.” Jawab Ali.
“...dan memaafkan (kesalahan) orang...” lanjut budak perempuan
itu.
“Semoga Allah mengampunimu.” Jawab Ali.
“...Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan...”
Mengakhiri ayat 134 dari surat Ali Imran yang dibacanya.
“Kini engkau aku merdekakan semata karena Allah.” Ungkap Ali.
[Al-Mushannif Abdurrazzaq no.8317]
Umar Ibn Abdul Aziz respek dengan firman Allah :
“Sesungguhnya pelindungku ialahlah yang telah menurunkan Al kitab (Al
Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS.al-A’râf: 196)
Dikatakan kepada Umar Ibn Abdul Aziz1 ketika berada dalam pembaringan
menjelang kematiannya:
“Mereka anak-anakmu (yang berjumlah 12), tidakkah engkau berwasiat
kepada mereka dengan sesuatu, sesungguhnya mereka itu fakir.”
Umar menjawab:
“Sesungguhnya wali (pengayom)ku adalah Allah yang telah menurunkan
al-kitab (al-Quran) dan dia pula yang akan mengayomi orang-orang yang
saleh. Demi Allah, aku tidak akan memberikan hak orang lain kepada
mereka. Mereka ada di antara dua keadaan orang; orang yang saleh,
maka Allah akan menjadi pengayomnya, atau bukan orang saleh, maka
aku tidak akan membantu kefasikan (perbuatan dosanya) dengan
memberinya harta. Aku sendiri tidak peduli pada posisi mana
pengakhiran mereka. Aku tidak akan meninggalkan untuk mereka
sesuatu yang dapat digunakan bermaksiat kepada Allah sehingga aku
menjadi sekutunya setelah kematianku.”
Kemudian dia memanggil anak-anaknya untuk mengucapkan perpisahan
seraya berpesan dengan apa yang telah menjadi prinsipnya itu, lalu berkata:
“Pergilah kalian semua, Allah akan menjaga kalian dan akan
memperbaiki keadaan kalian setelah ini. ” Pesan Umar.
Orang-orang berkata (setelah kematian Umar):
“Kami mendapati di antara anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz ada yang
membawa 80 ekor kuda untuk digunakan berperang dijalan Allah.
Sedangkan di antara putra Sulaiman Ibn Abdul Mâlik2, meskipun banyak
harta yang ditinggalkan untuk anak-anaknya (tapi pada akhirnya) datang
dan meminta kepada anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz. Yang demikian
karena Umar mewakilkan anaknya kepada Allah sedangkan Sulaiman
dan penguasa lainnya menggantungkan anak-anak mereka pada apa
yang diberikan, sehingga habis dan lenyaplah harta itu untuk
memuaskan hawa nafsu anak-anak mereka.
[kitab: Al-Bidayah wa an-Nihaya 9/218.]
Dengan satu ayat Umar Ibn Abdul Aziz mengejawantahkan ayat tersebut dalam
urusan hak anak-anaknya sehingga Allah jaga mereka dengan izin-Nya.
1 Khalifah Umawiah (pemimpin pemerintahahan Islam) pada tahun 99H -101H-pent.
2 Khalifah Umawiah (pemimpin pemerintahahan Islam) pada tahun 96H-99H -pent.
٧
Bahkan bukan hanya itu, Allah gabungkan untuk mereka kebaikan dunia dan
akhirat.
Bukankah sudah seharusnya kaum muslimin menyadari betapa pentingnya
mendidik anak keturunan yang sesuai dengan sudut pandang Islam.
Penyair pun memiliki bagian dalam memahami al-Quran dan sunah serta
bagaimana mereka berinteraksi dengan nas-nas keduanya dalam kehidupan
nyata mereka sehari-hari.
Farzadaq, seorang penyair respek dengan firman Allah :
ﺎﻌﺗ ﷲ ﺎﻗ : $γ≈Ψϑγ ù ≈ϑŠ=™ 4 ξ2ρ $Ψ?# $ϑ3m $ϑ=ãρ
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum
(yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan
Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya: 79)
Dikabarkan bahwa al-Walid3 mengirim utusan kepada raja Romawi meminta
dikirimi ahli-ahli bangunan, baik ahli marmer dan yang lainnya, untuk
membantu membuatkan bangunan Masjid Umawi di Damaskus sesuai
keinginannya. Maka raja Romawi pun mengirim banyak ahli bangunan sekitar
200 tukang seraya menulis surat kepadanya, yang isinya:
“Jika ayahmu tahu apa yang kamu lakukan dan membiarkan saja
sungguh itu adalah cela bagimu. Jika dia tidak memahaminya sedang
engkau memahaminya, sungguh itu adalah cela baginya.”
Ketika kiriman raja Romawi sampai kepada Walid, dia ingin membalas surat
itu. Maka berkumpullah orang-orang untuk membahasnya. Di antara mereka
ada Farzadaq, seorang penyair, dia berkata:
“Aku yang akan menjawabnya dari kitabullah, wahai Amirul mukminin."
“Apa itu?” Tanya Walid
“Allah berfirman:
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang
hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami
berikan Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya:79)
Sulaiman adalah putra Daud. Allah memberinya kefahaman apa yang
tidak diberikan kepada ayahnya.” Jelas Farzadaq.
3 Al-Walid putra dari Abdul Malik Ibn Marwan, salah satu khalifah Umawiah pada tahun 73H-86H.
Jawaban Farzadaq membuat Walid salut. Maka Walidpun mengirim jawaban
itu kepada Raja Romawi. Farzadak mengatakan hal itu dalam syairnya:
Aku pisahkan antara Nasrani di gereja-gereja mereka
Antara ahli ibadah, tukang sihir dan ternak
Mereka semua jika sembahyang wajahnya berbeda-beda
Ada yang sujud kepada Allah atau kepada patung
Bagaimana mungkin berkumpul pemukul lonceng ahli salib
Dengan para pembaca al-Quran yang tidak tidur
Aku pahami masalahannya seperti pemahaman Daud dan Sulaiman
Yang mengadili orang-orang pada kebun dan ternak
[al-Bidayah wa an-Nihayah 9/153]
Abdul Malik bin Marwan, yang telah banyak menaklukkan negeri-negeri di
berbagai penjuru dan menjadikannya daulah islamiah pada zamannya, ketika
terbaring menyongsong kematiannya respek dengan firman Allah :
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri
sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.” (QS. Al-An’âm: 94)
Abu Mashar berkata:
“Ditanyakan kepada Abdul Malik di saat sakit menjelang kematiannya:
“Apa yang engkau rasakan?”
“Aku mendapatkan diriku sebagaimana yang Allah firmankan:
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri
sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di
belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan
Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa
mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah
terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa
yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah)." (QS. Al-An’âm: 94)
“Seandainya aku seorang tukang cuci yang hidup dari hasil tanganku
sendiri.” Sesalnya.
Ketika berita menjelang kematian Abdul Malik tersebut sampai kepada
Sa’id Ibn al-Musayib4, dia berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada akhir kematiannya
mendekat kepada kami (kepada akhirat), bukan kita yang mendekat
kepadanya (kepada dunia).”
[Lihat: al-Kamil fi at-Tarikh, peristiwa tahun 86H jilid 3]
Kepada para hakim dari umat ini –kebanyakan mereka menjauhi kebenaran
dan berpaling- aku beritakan apa yang dilakukan oleh al-Mahdi, khalifah al
Abâsi yang berhukum dengan adil dan respek dengan ayat al-Quran yang
mulia.
Al-Khatib meriwayatkan:
"Seorang lelaki meminta bantuan kepada al-Mahdi untuk mengadili
dirinya dan lawan sengketanya. Al-Mahdipun mengadili mereka dengan
adil. Sehingga lelaki itupun memuji dalam bait-bait syair:
Engkau mengadilinya dan membuat keputusan
Seperti terang benderangnya bulan purnama
Tidak menerima suap dalam pengadilan hukummu
4 Salah seorang ulama besar pada masanya.
١٠
Tidak peduli kekecewaan mereka yang merugi
Al-Mahdi berkata mengomentari bait-bait syair lelaki itu:
“Adapun engkau wahai kisanak, semoga Allah menjadikan baik
ucapanmu dan aku tidak terlena dengan apa yang engkau katakan.
Adapun aku, tidaklah aku duduk di majelisku ini hingga membaca
firman Allah :
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka
tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan
cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS.al-Anbiya:47)
Orang-orang yang ada di majelis menangis. Belum pernah terlihat orang
menangis lebih banyak dari hari itu sebelumnya.
[Lihat kitab: al-Kâmil fi at-Târikh, kejadian tahun 256H jilid 4]
Maimun bin Mahrân respek dengan ayat dari kitab Allah .
Umar, putra Maimun berkata:
“Aku keluar bersama ayahku menyusuri bangunan dan jalan-jalan
Bashroh. Ketika melewati parit, syaikh (ayahku) tidak dapat
melampauinya, sehingga akupun merebahkan tubuhku agar beliau dapat
melintas menaikiku. Diapun melintas menaiki punggungku, setelah itu
akupun berdiri dan memegang tangannya hingga tibalah kami di rumah
al-Hasan. Akupun mengetuk pintu rumah al-Hasan. Tidak lama
berselang keluarlah seorang budak wanita dan berkata:
“Siapa yang datang?”
“Ini adalah Maimun Ibn Mahran, ingin bertemu dengan al-Hasan.”
Jawabku.
“Apakah Maimun juru tulis (sekretaris) Umar Ibn Abdul Aziz?!” tanyanya
lagi.
“Ya.” Jawabku lagi.
“Alangkah menyedihkannya, engkau masih hidup pada zaman yang
penuh dengan keburukan sekarang ini.” Ujar budak wanita itu.
Syaikh menangis mendengarnya, hingga al-Hasanpun keluar karena
mendengar tangisan itu, lalu mereka saling berangkulan, kemudian
masuk. Maimun bekata:
“Wahai Abu Sa’id5, sungguh aku galau dengan kerasnya hatiku,
karenanya lembutkanlah ia.”
Al-Hasanpun membaca firman Allah :
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka
kenikmatan hidup bertahun-tahun kemudian datang kepada mereka azab
yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi
mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (QS.as-Syu’arâ’: 205-207)
Mendengar itu Maimun langsung jatuh pingsan. Aku melihat kedua kakinya
saling bergesekan seperti biri-biri yang disembelih. Keadaan seperti itu
berlangsung cukup lama. Kemudian datanglah budak perempuan tadi dan
berkata:
“Kalian telah membuat al-Hasan lelah. Tinggalkanlah dia agar
beristirahat.”
Akupun memegang tangan ayahku lalu keluar. Aku katakan kepada
ayahku:
“Wahai ayah, apakah dia al-Hasan.”
“Ya.” Jawab ayahku.
“Aku mengira ia lebih hebat dari ini6.”
Ayahku menepuk dadaku seraya berkata:
“Wahai anakku, telah dibacakan kepada kita ayat yang jika engkau
memahaminya dengan hatimu sungguh engkau akan merasakan adanya
kepedihan.”
[Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah 9/327]
5 Kunyah atau panggilan dari al-Hasan, ulama besar di masa itu dari generasi Atba At-Tabi’in.
6 Maksudnya bahwa sebagai seorang ulama al-Hasan tidak banyak bicara saat kunjungan mereka, tetapi hanya
membacakan beberapa ayat al-Quran saja.
Al-Hajjaj Ibn Yusuf ats-Tsaqofi adalah sosok yang zalim dan bengis. Hanya saja
dia begitu sensitif dengan ayat-ayat al-Quran, respek dan mendahulukan
firman Allah dibanding perkataan yang lain.
Al-Haitsam Ibn Adi berkata:
“Datang seorang lelaki kepada al-Hajjaj dan berkata:
“Sesungguhnya saudara laki-lakiku keluar bersama Ibnu al
Asy’ab7, sehingga namaku dihapus dari daftar, tidak mendapat
bantuan dan tempat tinggalku digusur.”
Al-Hajjaj berkata:
“Tidakkah engkau mendengar ungkapan syair:
Harapanmu kepada orang yang menyakitimu
Tak ubahnya menjadikan kesehatan yang berkah menjadi kusta
Bisa jadi seorang itu di hukum karena kesalahan orang dekatnya
Sedangkan pelakunya selamat dari dosa yang dilakukannya
Lelaki itupun menjawab:
"Wahai amir, sungguh aku mendengar firman Allah tidak seperti syair
yang telah engkau bacakan tadi, dan firman Allah lebih benar.”
"Apa yang Allah firmankan?" Tanya al-Hajjaj.
Lelaki itu membaca firman Allah dalam surat Yusuf:
"Mereka berkata: "Wahai Al-Aziz, sesungguhnya ia mempunyai ayah yang
sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami
sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang
orang yang berbuat baik". Yusuf berkata: "Aku mohon perlindungan
kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami
ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, Maka
benar-benarlah kami orang-orang yang zalim". (QS. Yusuf: 78-79)
7 Yang dianggap berseberangan dengan penguasa -pent.
Al-Hajjaj langsung merespons firman Allah itu dan berkata kepada
bawahannya:
"Wahai ghulam, masukkan kembali namanya ke dalam daftar, bangun
kembali tempat tinggalnya dan beri dia apa yang berhak diterimanya.
Panggil juru penyeru untuk menyerukan bahwa Allah-lah yang benar dan
penyair itu salah."
[ Al-Bidayah wa An-Nihayah 9/130]
Akan tetapi respons yang menjurus pada kebinasaan jiwa adalah tertolak.
Sekalipun dalam catatan sejarah kita ada orang-orang yang begitu sensitif dan
merespons ayat-ayat al-Quran sehingga menjadi penutup kehidupan mereka.
Yang demikian itu menyelisihi sunah Nabi .
Zurarah Ibn Aufa Ibn Hajib al-Âmiri adalah hakim di Bashroh. Dia termasuk
ulama besar Bashrah. Kisah mengenai riwayat dirinya banyak sekali. Suatu
saat ketika mengimami shalat subuh dia membaca surat al-Mudatsir. Ketika
sampai kepada ayat:
"Apabila ditiup sangkakala.." (QS.al-Mudatsir: 8)
Seketika itu pula ia menemui ajalnya.
[Kitab: Al-'Ibar Fi khabarin man ghabar (Pelajaran mengenai berita bagi yang
tidak tahu)]
* * * * *
Ya'kub al-Kûfi seorang yang zuhud (sederhana) lagi ahli ibadah juga meninggal
ketika mendengarkan ayat al-Quran.
Ali Ibn al-Muwaffaq berkata bahwa Manshur Ibn Ammar berkata:
"Pada suatu malam aku keluar (ke masjid) yang aku kira waktu subuh
sudah masuk, tapi ternyata masih malam. Akupun bergegas duduk di
pintu kecil masjid. Ternyata ada seorang pemuda yang tengah menangis
sambil berujar:
"Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, bukan maksud memaksiati
Mu ingin menyelisihi-Mu, akan tetapi jiwaku memaksaku,
kesusahanku mengalahkanku dan tabir dosaku yang Kau tutupi
telah menipuku. Sekarang siapa yang akan menyelamatkanku dari
azab-Mu. Tali siapa yang dapat menghubungkanku kepada-Mu jika
Engkau telah memutus tali penghubung itu dariku. Oh, sesal atas
apa yang telah berlalu dari hari-hari memaksiati Tuhan-ku. Celaka
aku, sudah berapa kali aku bertobat dan berapa kali pula aku
mengulanginya. Kini telah tiba saatnya bagiku untuk malu kepada
Tuhan-ku ."
Mendengar ujaran pemuda itu spontan Manshur berkata:
"Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan
menyebut nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan." (QS.at-Tahrim: 6)
Selesai itu aku mendengar pekikan dan kepanikan yang sangat. Tapi
kemudian aku meniggalkan tempat itu untuk satu keperluan. Ketika
kembali dan melintasi pintu itu aku lihat sesosok jenazah tergolek di
sana. Ketika aku tanyakan jenazah siapakah itu, ternyata pemuda tadi
telah wafat setelah mendengar ayat yang aku bacakan."
[kitab Al-Bidâyah wa an-Nihâyah 10/185]
Nabi sendiri ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, beliau
tersentuh dan respek sehingga keluarlah air matanya dan menangis, tetapi
tidak lebih dari itu, selain juga semakin bertambah takut, khawatir, harap dan
tunduknya kepada Tuhan-nya . Adapun peristiwa-peristiwa ganjil yang
terjadi dalam catatan sejarah umat ini, di mana mereka meninggal setelah
mendengar ayat-ayat al-Quran adalah menyelisihi manhajul islam (metodologi
islam).
Sa'id Ibn Abi Waqqôs sang penakluk negeri-negeri, yang di antaranya adalah
kekaisaran Faris8. Ketika mereka berhasil merebut istana, dia menjadikan
majelis istana sebagai mushola (tempat shalat). Ketika memasukinya ia
membaca firman Allah:
"Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan
kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan
kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah. dan Kami
wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak
menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh."
(QS. Ad-Dukhôn: 25-29)
Aku katakan kepada hakim-hakim kaum muslimin; kapan kita memasuk Paris,
Wina, Wasingthon dan London seraya mengatakan:
"Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan
kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan
kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah. dan Kami
wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak
menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh." (QS. Ad-Dukhôn:
25-29)
Mereka adalah generasi yang menaklukkan dunia dengan segala isinya. Dahulu
al-Quran dan sunah mengalir dalam darah mereka, yang bercampur dengan
daging dan lemak. Adapun sekarang, engkau tidak mendapati seorang hakim
atau terpidana pun –selain yang dirahmati Allah- paham terhadap kitab Allah
(al-Quran) atau respek dengan suber hukum itu dalam praktek kehidupan
mereka. Innalillah wa inna ilaihi rojiun.
Aku meminta kepada Allah yang Mahaagung, Tuhan Arsy yang agung agar
mengutus kepada kita manusia-manusia teladan seperti mereka, yang akan
mengembalikan kemuliaan yang telah kita abaikan, dan memudahkan
tegaknya daulah islamiah di muka bumi.
Wallahu A'lam.
8 Negara Iran saat ini.