Artikel




Refleksi Kehidupan Salafusoleh


Dalam Berinteraksi Dengan Ayat-ayat al-Quran


 Sungguh generasi pendahulu kita dengan sadar telah menikmati sensasi ayat


ayat al-Quran dan sunah Nabi. Mereka mengamalkannya dalam praktek


keseharian. Kehidupan di luar masjid tidak membuat mereka tidak


menjalankannya. Mereka tidak memisahkan dan menjadikan aktivitas


kehidupan amaliah (duniawi) sebagai satu sisi dan agama pada sisi yang lain,


tetapi keduanya saling melengkapi. Interaksi mereka dengan ayat-ayat qurâni


dan sunah nawabi nampak dalam aktivitas gerak dan diam mereka.  


Abdullah Ibn Umar respek dengan firman Allah ,





 “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum


kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali Imran:92)


Ketika mendapatkan sesuatu yang amat disukainya pada hartanya, serta-merta


ia jadikan harta itu sebagai taqarub (pendekat) kepada Allah .


Budak-budak Ibnu Umar menyadari hal itu. Hingga salah seorang di antara


mereka ada yang sengaja berdiam diri di masjid. Ketika Ibnu Umar melihatnya


dalam keadaan demikian, diapun memerdekakan budak itu. Atas sikapnya itu,


sebagian orang ada yang berkata kepadanya,  


“Budak-budak itu hanya menipumu!”  


Ibnu Umar menjawab:  


“Siapa yang menipu kami untuk Allah, kami akan membiarkan seolah


kami tertipu untuknya.” .


Ibnu Umar memiliki budak perempuan yang begitu disayanginya. Tetapi diapun


memerdekakan budak itu dan menikahkannya dengan Nâfi’, budak yang juga


telah dimerdekakannya sebelumnya.  


Ibnu Umar berkata:  


“Sesungguhnya Allah  berfirman:


“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali


Imran:92)


Pernah Ibnu Umar membeli unta jantan dan merasa takjub ketika


menungganginya. Diapun berkata kepada ajudannya:


“Wahai Nâfi’, jadikan unta ini sebagai sedekah.”  


٣


Pada kesempatan yang lain, Ibnu Ja’far (seorang saudagar) ingin membeli Nafi’,


budak lelaki Ibnu Umar sebesar 10.000 dirham atau lebih dari itu. Ibnu Umar


berkata:


“Aku telah memerdekakannya, dia bebas untuk Allah.”


Pada waktu yang lain Ibnu Umar membeli seorang budak dengan harga 40.000


dirham kemudian dimerdekakannya. Setelah dimerdekakan budak itupun


berkata:


“Wahai tuanku, engkau telah memerdekakanku, maka berilah aku


sesuatu agar aku bisa hidup.”


Ibnu Umar pun memberinya 40.000 dirham.


Pada waktu yang lain Ibnu Umar membeli 5 orang budak. Manakala dia sedang


shalat kelima budak itu turut shalat di belakangnya. Ibnu Umarpun bertanya


kepada mereka:


“Untuk siapa kalian melakukan shalat ini?”  


“Untuk Allah!” Jawab mereka.


Mendengar jawaban mereka Ibnu Umar berkata:


“Kalian merdeka untuk Dia yang kalian shalat kepada-Nya.” Ibnu


Umarpun memerdekakan mereka semua.  


[Al-bidayah wa an-Nihayah 6/9]


Ayat:  


“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali


Imran:92)


Jika dipraktekkan di era kita sekarang ini, maka tidak akan lagi ditemukan


seorang miskin atau terlantar pun di tengah masyarakat muslim, walau hanya


10% saja dari mereka yang mempraktekkannya.


*****


Ali Ibn al-Husain respek dengan firman Allah :





 “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang


maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan


(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS.Ali


Imran:134)


Abdurrazzak berkata,


“Budak perempuan Ali Ibn al-Husain menuangkan air kepada Ali untuk


berwudhu, tetapi bejana yang dipegangnya terlepas dari tangannya


sehingga mengenai wajah Ali. Diapun mendongak (menatap tajam)


kepada budaknya itu. Maka berkatalah budak perempuan itu menyitir


ayat dalam surat Ali Imran:


“Sesungguhnya Allah  berfirman:


“…dan orang-orang yang menahan amarahnya..”


“Aku telah menahan amarahku.” Jawab Ali.


“...dan memaafkan (kesalahan) orang...” lanjut budak perempuan


itu.


“Semoga Allah mengampunimu.” Jawab Ali.


“...Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan...”


Mengakhiri ayat 134 dari surat Ali Imran yang dibacanya.


“Kini engkau aku merdekakan semata karena Allah.” Ungkap Ali.  


[Al-Mushannif Abdurrazzaq no.8317]





 Umar Ibn Abdul Aziz respek dengan firman Allah :





 “Sesungguhnya pelindungku ialahlah yang telah menurunkan Al kitab (Al


Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS.al-A’râf: 196)


Dikatakan kepada Umar Ibn Abdul Aziz1 ketika berada dalam pembaringan


menjelang kematiannya:  


“Mereka anak-anakmu  (yang berjumlah 12), tidakkah engkau berwasiat


kepada mereka dengan sesuatu, sesungguhnya mereka itu fakir.”


Umar menjawab:  


“Sesungguhnya wali (pengayom)ku adalah Allah yang telah menurunkan


al-kitab (al-Quran) dan dia pula yang akan mengayomi orang-orang yang


saleh. Demi Allah, aku tidak akan memberikan hak orang lain kepada


mereka. Mereka ada di antara dua keadaan orang; orang yang saleh,


maka Allah akan menjadi pengayomnya, atau bukan orang saleh, maka


aku tidak akan membantu kefasikan (perbuatan dosanya) dengan


memberinya harta. Aku sendiri tidak peduli pada posisi mana


pengakhiran mereka. Aku tidak akan meninggalkan untuk mereka


sesuatu yang dapat digunakan bermaksiat kepada Allah sehingga aku


menjadi sekutunya setelah kematianku.”


Kemudian dia memanggil anak-anaknya untuk mengucapkan perpisahan


seraya berpesan dengan apa yang telah menjadi prinsipnya itu, lalu berkata:  


“Pergilah kalian semua, Allah akan menjaga kalian dan akan


memperbaiki keadaan kalian setelah ini. ” Pesan Umar.


Orang-orang berkata (setelah kematian Umar):  


“Kami mendapati di antara anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz ada yang


membawa 80 ekor kuda untuk digunakan berperang dijalan Allah.


Sedangkan di antara putra Sulaiman Ibn Abdul Mâlik2, meskipun banyak


harta yang ditinggalkan untuk anak-anaknya (tapi pada akhirnya) datang


dan meminta kepada anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz. Yang demikian


karena Umar mewakilkan anaknya kepada Allah  sedangkan Sulaiman


dan penguasa lainnya menggantungkan anak-anak mereka pada apa


yang diberikan, sehingga habis dan lenyaplah harta itu untuk


memuaskan hawa nafsu anak-anak mereka.  


[kitab: Al-Bidayah wa an-Nihaya 9/218.]


Dengan satu ayat Umar Ibn Abdul Aziz mengejawantahkan ayat tersebut dalam


urusan hak anak-anaknya sehingga Allah jaga mereka dengan izin-Nya.


                                                 


1 Khalifah Umawiah (pemimpin pemerintahahan Islam) pada tahun 99H -101H-pent.


2 Khalifah Umawiah (pemimpin pemerintahahan Islam) pada tahun 96H-99H -pent.


 ٧


 Bahkan bukan hanya itu, Allah gabungkan untuk mereka kebaikan dunia dan


akhirat.


Bukankah sudah seharusnya kaum muslimin menyadari betapa pentingnya


mendidik anak keturunan yang sesuai dengan sudut pandang Islam.


 


Penyair pun memiliki bagian dalam memahami al-Quran dan sunah serta


bagaimana mereka berinteraksi dengan nas-nas keduanya dalam kehidupan


nyata mereka sehari-hari.


Farzadaq, seorang penyair respek dengan firman Allah :


ﺎﻌﺗ ﷲ ﺎﻗ :   $γ≈Ψϑγ ù ≈ϑŠ=™ 4 ξ2ρ $Ψ?# $ϑ3m $ϑ=ãρ   


 


 “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum


(yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan


Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya: 79)


Dikabarkan bahwa al-Walid3 mengirim utusan kepada raja Romawi meminta


dikirimi ahli-ahli bangunan, baik ahli marmer dan yang lainnya, untuk


membantu membuatkan bangunan Masjid Umawi di Damaskus sesuai


keinginannya. Maka raja Romawi pun mengirim banyak ahli bangunan sekitar


200 tukang seraya menulis surat kepadanya, yang isinya:


“Jika ayahmu tahu apa yang kamu lakukan dan membiarkan saja


sungguh itu adalah cela bagimu. Jika dia tidak memahaminya sedang


engkau memahaminya, sungguh itu adalah cela baginya.”


Ketika kiriman raja Romawi sampai kepada Walid, dia ingin membalas surat


itu. Maka berkumpullah orang-orang untuk membahasnya. Di antara mereka


ada Farzadaq, seorang penyair, dia berkata:


“Aku yang akan menjawabnya dari kitabullah, wahai Amirul mukminin."


“Apa itu?” Tanya Walid


“Allah  berfirman:  


“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang


hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami


berikan Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya:79)


Sulaiman adalah putra Daud. Allah memberinya kefahaman apa yang


tidak diberikan kepada ayahnya.” Jelas Farzadaq.  


                                                 


3 Al-Walid putra dari Abdul Malik Ibn Marwan, salah satu khalifah Umawiah pada tahun 73H-86H.


Jawaban Farzadaq membuat Walid salut. Maka Walidpun mengirim jawaban


itu kepada Raja Romawi. Farzadak mengatakan hal itu dalam syairnya:


Aku pisahkan antara Nasrani di gereja-gereja mereka


Antara ahli ibadah, tukang sihir dan ternak


Mereka semua jika sembahyang wajahnya berbeda-beda


Ada yang sujud kepada Allah atau kepada patung


Bagaimana mungkin berkumpul pemukul lonceng ahli salib  


Dengan para pembaca al-Quran yang tidak tidur


Aku pahami masalahannya seperti pemahaman Daud dan Sulaiman  


Yang mengadili orang-orang pada kebun dan ternak





[al-Bidayah wa an-Nihayah 9/153]





Abdul Malik bin Marwan, yang telah banyak menaklukkan negeri-negeri  di


berbagai penjuru dan menjadikannya daulah islamiah pada zamannya, ketika


terbaring menyongsong kematiannya respek dengan firman Allah :





 “Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri


sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.” (QS. Al-An’âm: 94)


Abu Mashar berkata:


“Ditanyakan kepada Abdul Malik di saat sakit menjelang kematiannya:


“Apa yang engkau rasakan?”


“Aku mendapatkan diriku sebagaimana yang Allah  firmankan:





 “Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri


sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di


belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan


Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa


mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah


terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa


yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah)." (QS. Al-An’âm: 94)


“Seandainya aku seorang tukang cuci yang hidup dari hasil tanganku


sendiri.” Sesalnya.


Ketika berita menjelang kematian Abdul Malik tersebut sampai kepada


Sa’id Ibn al-Musayib4, dia berkata:


“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada akhir kematiannya


mendekat kepada kami (kepada akhirat), bukan kita yang mendekat


kepadanya (kepada dunia).”


[Lihat: al-Kamil fi at-Tarikh, peristiwa tahun 86H jilid 3]


 


Kepada para hakim dari umat ini –kebanyakan mereka menjauhi kebenaran


dan berpaling- aku beritakan apa yang dilakukan oleh al-Mahdi, khalifah al


Abâsi yang berhukum dengan adil dan respek dengan ayat al-Quran yang


mulia.  


Al-Khatib meriwayatkan:


"Seorang lelaki meminta bantuan kepada al-Mahdi untuk mengadili


dirinya dan lawan sengketanya. Al-Mahdipun mengadili mereka dengan


adil. Sehingga lelaki itupun memuji dalam bait-bait syair:


Engkau mengadilinya dan membuat keputusan


Seperti terang benderangnya bulan purnama


Tidak menerima suap dalam pengadilan hukummu


                                                 


4 Salah seorang ulama besar pada masanya.


 ١٠


 Tidak peduli kekecewaan mereka yang merugi


Al-Mahdi berkata mengomentari bait-bait syair lelaki itu:


“Adapun engkau wahai kisanak, semoga Allah menjadikan baik


ucapanmu dan aku tidak terlena dengan apa yang engkau katakan.


Adapun aku, tidaklah aku duduk di majelisku ini hingga membaca


firman Allah :





 “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka


tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu)


hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan


cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS.al-Anbiya:47)


Orang-orang yang ada di majelis menangis. Belum pernah terlihat orang


menangis lebih banyak dari hari itu sebelumnya.  


[Lihat kitab: al-Kâmil fi at-Târikh, kejadian tahun 256H jilid 4]





Maimun bin Mahrân respek dengan ayat dari kitab Allah .  


Umar, putra Maimun berkata:


“Aku keluar bersama ayahku menyusuri bangunan dan jalan-jalan


Bashroh. Ketika melewati parit, syaikh (ayahku) tidak dapat


melampauinya, sehingga akupun merebahkan tubuhku agar beliau dapat


melintas menaikiku. Diapun melintas menaiki punggungku, setelah itu


akupun berdiri dan memegang tangannya hingga tibalah kami di rumah


al-Hasan. Akupun mengetuk pintu rumah al-Hasan. Tidak lama


berselang keluarlah seorang budak wanita dan berkata:


“Siapa yang datang?”


“Ini adalah Maimun Ibn Mahran, ingin bertemu dengan al-Hasan.”


Jawabku.


“Apakah Maimun juru tulis (sekretaris) Umar Ibn Abdul Aziz?!” tanyanya


lagi.


“Ya.” Jawabku lagi.


 


 “Alangkah menyedihkannya, engkau masih hidup pada zaman yang


penuh dengan keburukan sekarang ini.” Ujar budak wanita itu.


Syaikh menangis mendengarnya, hingga al-Hasanpun keluar karena


mendengar tangisan itu, lalu mereka saling berangkulan, kemudian


masuk. Maimun bekata:


“Wahai Abu Sa’id5, sungguh aku galau dengan kerasnya hatiku,


karenanya lembutkanlah ia.”  


Al-Hasanpun membaca firman Allah :





 “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka


kenikmatan hidup bertahun-tahun kemudian datang kepada mereka azab


yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi


mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (QS.as-Syu’arâ’: 205-207)


Mendengar itu Maimun langsung jatuh pingsan. Aku melihat kedua kakinya


saling bergesekan seperti biri-biri yang disembelih. Keadaan seperti itu


berlangsung cukup lama. Kemudian datanglah budak perempuan tadi dan


berkata:


“Kalian telah membuat al-Hasan lelah. Tinggalkanlah dia agar


beristirahat.”  


Akupun memegang tangan ayahku lalu keluar. Aku katakan kepada


ayahku:


 “Wahai ayah, apakah dia al-Hasan.”


 “Ya.” Jawab ayahku.


 “Aku mengira ia lebih hebat dari ini6.”


 Ayahku menepuk dadaku seraya berkata:   


“Wahai anakku, telah dibacakan kepada kita ayat yang jika engkau


memahaminya dengan hatimu sungguh engkau akan merasakan adanya


kepedihan.”


[Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah 9/327]


                                                 


5 Kunyah atau panggilan dari al-Hasan, ulama besar di masa itu dari generasi Atba At-Tabi’in.


6 Maksudnya bahwa sebagai seorang ulama al-Hasan tidak banyak bicara saat kunjungan mereka, tetapi hanya


membacakan beberapa ayat al-Quran saja.





Al-Hajjaj Ibn Yusuf ats-Tsaqofi adalah sosok yang zalim dan bengis. Hanya saja


dia begitu sensitif dengan ayat-ayat al-Quran, respek dan mendahulukan


firman Allah  dibanding perkataan yang lain.


Al-Haitsam Ibn Adi berkata:


 “Datang seorang lelaki kepada al-Hajjaj dan berkata:  


“Sesungguhnya saudara laki-lakiku keluar bersama Ibnu al


Asy’ab7, sehingga namaku dihapus dari daftar, tidak mendapat


bantuan dan tempat tinggalku digusur.”


 Al-Hajjaj berkata:


“Tidakkah engkau mendengar ungkapan syair:


 


Harapanmu kepada orang yang menyakitimu


Tak ubahnya menjadikan kesehatan yang berkah menjadi kusta


Bisa jadi seorang itu di hukum karena kesalahan orang dekatnya


Sedangkan pelakunya selamat dari dosa yang dilakukannya


 


Lelaki itupun menjawab:


"Wahai amir, sungguh aku mendengar firman Allah  tidak seperti syair


yang telah engkau bacakan tadi, dan firman Allah  lebih benar.”


 "Apa yang Allah firmankan?" Tanya al-Hajjaj.


Lelaki itu membaca firman Allah  dalam surat Yusuf:





"Mereka berkata: "Wahai Al-Aziz, sesungguhnya ia mempunyai ayah yang


sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami


sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang


orang yang berbuat baik". Yusuf berkata: "Aku mohon perlindungan


kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami


ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, Maka


benar-benarlah kami orang-orang yang zalim". (QS. Yusuf: 78-79)


                                                 


7  Yang dianggap berseberangan dengan penguasa -pent.


Al-Hajjaj langsung merespons firman Allah itu dan berkata kepada


bawahannya:


"Wahai ghulam, masukkan kembali namanya ke dalam daftar, bangun


kembali tempat tinggalnya dan beri dia apa yang berhak diterimanya.


Panggil juru penyeru untuk menyerukan bahwa Allah-lah yang benar dan


penyair itu salah."


[ Al-Bidayah wa An-Nihayah  9/130]





Akan tetapi respons yang menjurus pada kebinasaan jiwa adalah tertolak.


Sekalipun dalam catatan sejarah kita ada orang-orang yang begitu sensitif dan


merespons ayat-ayat al-Quran sehingga menjadi penutup kehidupan mereka.


Yang demikian itu menyelisihi sunah Nabi .


Zurarah Ibn Aufa Ibn Hajib al-Âmiri adalah hakim di Bashroh. Dia termasuk


ulama besar Bashrah. Kisah mengenai riwayat dirinya banyak sekali. Suatu


saat ketika mengimami shalat subuh dia membaca surat al-Mudatsir. Ketika


sampai kepada ayat:





 "Apabila ditiup sangkakala.." (QS.al-Mudatsir: 8)


Seketika itu pula ia menemui ajalnya.  





 [Kitab: Al-'Ibar Fi khabarin man ghabar (Pelajaran mengenai berita bagi yang


tidak tahu)]


* * * * *


Ya'kub al-Kûfi seorang yang zuhud (sederhana) lagi ahli ibadah juga meninggal


ketika mendengarkan ayat al-Quran.  


Ali Ibn al-Muwaffaq berkata bahwa Manshur Ibn Ammar berkata:


"Pada suatu malam aku keluar (ke masjid) yang aku kira waktu subuh


sudah masuk, tapi ternyata masih malam. Akupun bergegas duduk di


pintu kecil masjid. Ternyata ada seorang pemuda yang tengah menangis


sambil berujar:


"Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, bukan maksud memaksiati


Mu ingin menyelisihi-Mu, akan tetapi jiwaku memaksaku,





 kesusahanku mengalahkanku dan tabir dosaku yang Kau tutupi


telah menipuku. Sekarang siapa yang akan menyelamatkanku dari


azab-Mu. Tali siapa yang dapat menghubungkanku kepada-Mu jika


Engkau telah memutus tali penghubung itu dariku. Oh, sesal atas


apa yang telah berlalu dari hari-hari memaksiati Tuhan-ku. Celaka


aku, sudah berapa kali aku bertobat dan berapa kali pula aku


mengulanginya. Kini telah tiba saatnya bagiku untuk malu kepada


Tuhan-ku ."


Mendengar ujaran pemuda itu spontan Manshur berkata:


"Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan


menyebut nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.  





"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari


api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya


malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah


terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan


apa yang diperintahkan." (QS.at-Tahrim: 6)


Selesai itu aku mendengar pekikan dan kepanikan yang sangat. Tapi


kemudian aku meniggalkan tempat itu untuk satu keperluan. Ketika


kembali dan melintasi pintu itu aku lihat sesosok jenazah tergolek di


sana. Ketika aku tanyakan jenazah siapakah itu, ternyata pemuda tadi


telah wafat setelah mendengar ayat yang aku bacakan."


[kitab Al-Bidâyah wa an-Nihâyah 10/185]


 


Nabi  sendiri ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, beliau


tersentuh dan respek sehingga keluarlah air matanya dan menangis, tetapi


tidak lebih dari itu, selain juga semakin bertambah takut, khawatir, harap dan


tunduknya kepada Tuhan-nya . Adapun peristiwa-peristiwa ganjil yang


terjadi dalam catatan sejarah umat ini, di mana mereka meninggal setelah


mendengar ayat-ayat al-Quran adalah menyelisihi manhajul islam (metodologi


islam).





 Sa'id Ibn Abi Waqqôs sang penakluk negeri-negeri, yang di antaranya adalah


kekaisaran Faris8. Ketika mereka berhasil merebut istana, dia menjadikan


majelis istana sebagai mushola (tempat shalat). Ketika memasukinya ia


membaca firman Allah:





"Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan


kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan


kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah. dan Kami


wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak


menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh."  


(QS. Ad-Dukhôn: 25-29)


Aku katakan kepada hakim-hakim kaum muslimin; kapan kita memasuk Paris,


Wina, Wasingthon dan London seraya mengatakan:


"Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan


kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan


kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah. dan Kami


wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak


menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh." (QS. Ad-Dukhôn:


25-29)


Mereka adalah generasi yang menaklukkan dunia dengan segala isinya. Dahulu


al-Quran dan sunah mengalir dalam darah mereka, yang bercampur dengan


daging dan lemak. Adapun sekarang, engkau tidak mendapati seorang hakim


atau terpidana pun –selain yang dirahmati Allah- paham terhadap kitab Allah


(al-Quran) atau respek dengan suber hukum itu dalam praktek kehidupan


mereka.  Innalillah wa inna ilaihi rojiun.


Aku meminta kepada Allah yang Mahaagung, Tuhan Arsy yang agung agar


mengutus kepada kita manusia-manusia teladan seperti mereka, yang akan


mengembalikan kemuliaan yang telah kita abaikan, dan memudahkan


tegaknya daulah islamiah di muka bumi.


 


Wallahu A'lam.


 


                                                 


8  Negara Iran saat ini.



Tulisan Terbaru

Perjalanan Hidup SA’D ...

Perjalanan Hidup SA’D BIN MU’ADZ r.a

Kejadian-kejadian pen ...

Kejadian-kejadian penting yang terjadi setelah Fathu Makkah sampai Rasulullah saw. Wafat. Bagian 1 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.

Peperangan Rasulullah ...

Peperangan Rasulullah saw. Bagian 3 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.

Peperangan Rasulullah ...

Peperangan Rasulullah saw. Bagian 1 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.