Artikel




Hukum Meninggalkan Shalat


Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar,


diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.


Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat


adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari


Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan


shalat.


Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang


yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka


berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i


“diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah


“diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.


Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang


wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan


sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhaanahu


wa ta’aala berfirman:


“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya


(terserah) kepada Allah.” (QS. As Syuura: 10).


Dan Allah juga berfirman:





kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar


beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama


(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa : 59 ).


Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya


tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing


pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah


satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima,


maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara


keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam.





Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As


Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah


keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah


kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.


Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:


Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:





“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka


(mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11).


Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:





“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyianyiakan


shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak


akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan


beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan


dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).


Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa


Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan


memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali orang yang bertaubat, beriman


…”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan


memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.


Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At


Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga syarat:


• Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.


• Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan


• Hendaklah mereka menunaikan zakat.





Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan


tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama


dengan kita.


Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan


zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.


Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada,


melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak


dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang


sederhana tingkatannya.


Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam


ayat qishash karena membunuh:





“Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang


memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi


maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik


(pula) .” (QS. Al Baqarah: 178).


Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang


membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya,


padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang





“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja,


maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah


murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar


baginya.” (QS. An Nisa: 93).


Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala


tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang:








“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka


damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat


aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat


aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka


damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah,


sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil, sesungguhnya


orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara


kedua saudaramu…”. (QS. Al Hujurat: 9).


Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara


pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi


orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits


shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari


Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:





“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah


kekafiran.”


Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab


andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan


sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan


bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara


seiman.


Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran


yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan


kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak


menyebabkan keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak


dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena


membunuh dan memerangi orang mu’min.


Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak


menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera


dalam surat At Taubah tersebut ?


Jawabnya adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir,


menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat


yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.


Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan


bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana


yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti





hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang


tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:





“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”


Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab:


“dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.


Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan


zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak


akan ada jalan baginya menuju surga.


Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih


didahulukan dari pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam


surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu


ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.





Kedua: dalil dari As Sunnah


1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan


dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab: Al-


Iman) .


2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia


berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda:





“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang


meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” (HR.Abu Daud,


Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).


Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang


menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi


wa sallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang


mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa


aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu,


barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk


golongan orang kafir.


3- Diriwayatkan dalam shahih Muslim, dari Ummu Salamah


radliallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda:





“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan


menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukannya, barangsiapa yang


mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa yang menolaknya selamatlah ia,


akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para


sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka? Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam menjawab:" Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”


4- Diriwayatkan pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik


radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda:





“Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan


merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu dan kamupun


mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah


mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati


mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya: ya Rasulallah,


bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang? beliau menjawab: "tidak,


selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”


Kedua hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi


dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka


tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para


pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata, yang bisa


kita jadikan bukti di hadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang


diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:





“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan


kamipun membai'at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah


hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam


keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan


mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami


menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda


beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada


buktinya bagi kita dari Allah.”


Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang


dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk


menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang


terang-terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.


@@@@


Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang


menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia


adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan


keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad


Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash


tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash


itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan,


atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi


seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu


difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang


meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang


yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu


harus didahulukan dari pada dalil yang umum.


    


Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran


orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang


yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya?


Jawab: Tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah


yang berbahaya:


Pertama: Menghapuskan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan


dijadikan sebagai dasar hukum.


Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat,


bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan


persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar


mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman: "Jika mereka bertaubat dan


mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam


pun tidak bersabda: "Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan


dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian


antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang


siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.


Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa


ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini


berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.


Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:





“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan


segala sesuatu …”. (QS. An Nahl: 89).





“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) agar kamu


menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada


mereka …”. (QS. An Nahl: 44).


Kedua: Menjadikan ketentuan yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai


landasan hukum.


Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran


bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia


mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.


Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan


melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan sunnah,


namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan


apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan


shalat.


Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut


dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari


kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat


adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam,








sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu


Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia


berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada


kita:





“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah


kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan


sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.”


Demikian pula, jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang


meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan


kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut tidak ada gunanya


sama sekali.


Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barangsiapa


yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari


kewajibannya, maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak


mengetahui. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut


dalil naqli (Al -Qur’an dan As Sunnah), maka menurut dalil 'aqli nadzari


(logika) pun demikian.


Bagaimana seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia


meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama. Dan pahala yang


dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang


yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan


mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya


menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak


meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang


meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.


Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan


shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang


mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai


kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang


disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersaba:





“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan


suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang


yang telah mati.”





“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah


kekafiran.”





Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut


tidak benar, karena beberapa alasan:


Pertama : Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah


menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan


keimanan, antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan


batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta


memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi


berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang


lain.


Kedua : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir


terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari


Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam,


berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang


mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.


Ketiga: Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang


meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya


menyebabkan ia keluar dari Islam.


Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti


yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan


harmonis, tidak saling bertentangan.


Keempat: Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan


shalat beliau bersabda:





“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan


kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR.


Muslim, dalam kitab al iman).


Di sini digunakan kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang


menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah


kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata


kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja,


atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan


ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.


Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama "Iqtidha


ashshirath al mustaqim" cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70,


ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :





“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan


suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang


mati.”


Ia mengatakan: sabda Nabi “Keduanya merupakan kekafiran” artinya:


kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia,


jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya


termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.





Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya


salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya


secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu


pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk


keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.


Penggunaan kata “Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “Al”)


sebagaimana disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :





“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan


dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al


iman).


Berbeda dengan kata “Kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “Al”) yang


digunakan dalam kalimat positif.





Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,


keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah


pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan


salah satu pendapat Imam Asy Syafi'i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu


Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala :





“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyianyiakan


shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak


akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan


beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan


dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).


Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qayyim dalam “Kitab Ash Shalat” bahwa


pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam


madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii


sendiri.


Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak


ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus)


para sahabat.


Abdullah bin Syaqiq mengatakan: ”Para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum


berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan


menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al





Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan


Muslim).


Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang Imam terkenal mengatakan:


“Telah dinyatakan dalam hadits shahih dan Nabi Muhammad shallallahu


‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan


demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang


sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat


waktunya adalah kafir.”


Dituturkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah bahwa pendapat tersebut telah


dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah,


dan para sahabat lainnya, dan ia berkata: “Dan sepengetahuan kami tidak


ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka


ini”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam


kitabnya "At Targhib Wat Tarhib", dan ada tambahan lagi dari para sahabat


yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu


Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut: “dan diantara para ulama


yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih,


Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As


Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin


Harb, dan lain-lainnya.”


Jika ada pertanyaan: Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan


oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu


tidak kafir?


Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang


meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka,


atau masuk surga, dan yang semisalnya.


Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan


menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan


kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh


mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah


kafir.


Bagian pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang


menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum,


namun tetap tidak membawa hasil.


Bagian kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan


pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan


oleh sebagian orang, yaitu firman Allah subhaanahu wa ta’aala:





“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia


mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki.”


(QS. An Nisa: 48).





Firman Allah “ artinya: “dosa-dosa yang lebih kecil dari pada


syirik ”, bukan “dosa yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang


yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir,


dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang


meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.


Andaikata kita menerima bahwa firman Allah “(k l :    \ % ” artinya


adalah “dosa-dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al


Amm Al Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nashnash


lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar


dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk


syirik.


Bagian ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits


yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.


Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang


dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:





“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan


yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,


kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”


Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti


ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu


‘anhum.


Bagian keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan


yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.


Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang


dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu:





“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan


yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas


dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari


api neraka.”


Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang


dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:





“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan


yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas





dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari


api neraka”. (HR. Bukhari).


Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan


niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan


ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya


niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk


melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi


Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.


Maka apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah,


tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya kepada


tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.


Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa


anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu


kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat


dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk syaratsyarat


syahadat yang benar.


Bagian kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh


suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan


shalat.


Contohnya: Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia


menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat


pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum


lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang


tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun


menyatakannya (seperti mereka) .”


Shilah berkata kepada Hudzaifah:” Tidak berguna bagi mereka kalimat


“La Ilaha Illallah”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa


itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan


mukanya dengan menjawab:” wahai Shilah, kalimat itu akan


menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulang-kali dia katakan seperti


itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.


Orang-orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja,


mereka itu dima'afkan untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena


mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan


hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa


dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya


syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan


syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat


mengenal syari'at ia meninggal dunia.





Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang


berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau


meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang dipergunakan


oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat


adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak


jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka,


atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat


itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan


untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus dengan


adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan


shalat.


Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah


kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan


disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum


karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip


“hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan) nya”.



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i