Artikel

Hukum mencela zat Allah I dan


mencela Agama





Penyusun : Dr. Khalid bin Abdurrahman al-Juraisi


Terjemah : Muh. Iqbal Ahmad Ghazali


Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad


2009 - 1430





FATWA-FATWA PILIHAN


(7) Hukum mencela zat Allah I dan pengaruhnya


Pertanyaan: Saya seorang wanita muslimah yang hidup di


Denmark bersama suami saya yang juga seorang muslim, dan


alhamdulillah saya dengan dia telah dikarunia tiga orang anak. Nama


saya berinisial m.m.m. Di saat marah yang memuncak, saya mencela


Dzat Allah I –Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa-. Dan sejak saat


itu, suami saya tidak mau berbicara dengan saya dengan alasan


bahwa saya sudah murtad, dan Allah I telah membatalkan aqad


nikah saya, sembelihan saya haram atasnya, saya tidak diwaris, saya


tidak dishalatkan, tidak dimandikan, tidak dikafankan, tidak


dikuburkan, anjing menghancurkan bangkaiku, dan hartaku menjadi


harta fay bagi kaum muslimin. Saya menyesal dengan sangat dan ini


pertama kali dalam hidup saya. Dan saya punya pengetahuan dan


ilmu yang baik, segala puji bagi Allah I. Dan saya menyadari bahwa


ini adalah kesalahan besar yang terjadi dari saya. Dia menyarankan


kepada saya agar menulis kepada fadhilatikum dalam persoalan


taubat saya. Apakah ada taubat untuk saya? Apakah saya bisa ruju’


(berkumpul kembali) dengan suami saya? Semoga Allah I


memperbaiki keadaan kalian.


Jawaban: Tidak diragukan lagi bahwa mencela dzat Allah I


adalah murtad dan keluar dari koridor Islam dengan ijma’ ulama


kaum muslimin yang pelakunya harus dibunuh bila tidak bertaubat


darinya, berdasarkan sabda Nabi r:


4





“Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga:


tsayiib (janda, duda) yang berzinah, jiwa dengan jiwa (karena


membunuh), dan yang meninggalkan agamanya berpisah dengan


jama’ah.”1


Selama engkau telah bertaubat dari hal itu dan menyesali


perbuatanmu baginya, dan engkau berketatapan hati bahwa ucapan


buruk itu tidak akan keluar lagi dari mulutmu maka taubatmu sudah


benar, karena para sahabat menetapkan orang-orang yang murtad di


atas pernikahan mereka yang terdahulu setelah mereka kembali ke


pangkuan islam, dan tidak memisahkan di antara mereka dan para


istri mereka, dan mereka (para sahabat) tidak memperbaharui


pernikahan salah seorang dari mereka, dan bagi kita pada mereka


adalah ikutan yang baik.


Wabillahit taufik, semoga rahmat dan kesejahteraan Allah I


selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad r, keluarga dan


sahabatnya.


Fatawa lajnah da`imah untuk riset ilmu dan fatwa (2/2).


(8) Hukum mencela agama di saat marah


Pertanyaan: Apakah hukum syara' dalam pandanganmu pada


seorang laki-laki yang mencela agama di saat marah, apakah ada


kewajiban membayar kafarat atasnya? Apakah syarat taubat dari


perbuatan ini di mana saya mendengar dari beberapa ulama


mengatakan: sesungguhnya engkau telah keluar dari islam karena


ucapanmu ini, dan mereka mengatakan bahwa istrimu menjadi


haram atasmu?


Jawaban: Hukum orang yang mencela agama islam adalah


kafir, karena sesungguhnya mencela agama dan mengolok-oloknya


1 HR. Al-Bukhari (6878) dan Muslim (1676)


5


adalah murtad dari islam dan kafir kepada Allah I dan dengan


agama-Nya. Allah I menceritakan tentang satu golongan yang


mengolok-olok agama islam, dan Allah I menceritakan bahwa


mereka berkata: 'Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan


bermain-main. Maka Allah I menyatakan bahwa sesungguhnya


senda gurau dan permainan mereka ini adalah mengolok-olok Allah


I, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya, dan sesungguhnya telah kafir


dengan-Nya, firman Allah I:





Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan


menjawab:"Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah


dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". * Tidak usah kamu minta


maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. at_Taubah:65-66)


Maka mengolok-olok agama Allah I, atau mencela agama Allah I,


atau mencela Allah I dan rasul-Nya, atau mengolok-olok keduanya


adalah kufur yang mengeluarkan dari agama.


Kendati demikian, sesungguhnya ada jalan untuk bertaubat


darinya, berdasarkan firman Allah I:





Katakanlah:"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah


kamu berputus asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa


semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. az-Zumar:53)


Apabila seorang manusia bertaubat dari kemurtadan apapun dan


taubatnya adalah taubat nashuha, serta memenuhi lima syarat


taubat, maka sesungguhnya Allah I menerima taubatnya.


Dan syarat taubat yang lima adalah:


Syarat pertama: ikhlas karena Allah I dengan taubatnya, bahwa


yang mendorong ia bertaubat bukan karena riya, atau sum'ah (ingin


didengar), atau takut dari makhluk, atau mengharapkan sesuatu


yang bisa diperolehnya di dunia. maka apabila ia memurnikan


taubatnya karena Allah I dan pendorongnya adalah taqwa kepada


6


Allah I, takut dari siksa-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya, maka


sungguh ia telah ikhlas dalam taubatnya kepada Allah I.


Syarat kedua: bahwa ia menyesali dosa yang telah dia lakukan, di


mana ia merasakan penyesalan dan duka cita di dalam jiwanya atas


perbuatan yang telah lalu, dan memandangnya sebagai perkara besar


yang dia harus berlepas diri darinya.


Syarat ketiga: bahwa ia berhenti melakukan dosa dan dari terus


menerus atasnya. Maka jika dosanya adalah meninggalkan


kewajiban, ia mendirikannya dan membayarnya (mengqadha') jika


memungkinkan. Dan jika dosanya adalah melakukan yang


diharamkan ia berhenti darinya dan menjauhkan diri darinya. Dan


termasuk hal itu, apabila dosa itu terkait dengan makhluk maka


sesungguhnya ia menunaikan hak mereka atau meminta halal


kepada mereka darinya.


Syarat keempat: berketetapan hati tidak akan mengulangi di masa


akan datang, yaitu di hatinya tertanam keinginan kuat bahwa ia tidak


akan mengulangi maksiat ini yang dia telah bertaubat darinya.


Syarat kelima: bahwa taubat itu di saat masih ada waktu. Maka jika


sudah melewati batas waktu penerimaan taubat niscaya tidak


diterima. Dan batas waktu penerimaan taubat ada yang umum dan


ada yang khusus. Adapun yang umum, yaitu terbitnya matahari dari


tempat tenggelamnya (sebelah barat). Taubat setelah terbit matahari


dari tempat tenggelamnya tidak diterima, berdasarkan firman Allah


I:





…pada hari kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfa'at lagi iman seseorang bagi


dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa


imannya….". (QS. al-An'am:158)


Adapun yang khusus yaitu datangnya kematian, maka apabila telah


tiba saat ajal menjemput maka sesungguhnya taubat tidak berguna,


berdasarkan firman Allah I:


7





Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga


apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan:"Sesungguhnya saya


bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam


kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (QS. an-Nisaa`:18)


Saya katakan: sesungguhnya apabila manusia bertaubat –sekalipun


hal itu adalah mencela agama- maka sesungguhnya taubatnya


diterima apabila syarat-syarat yang telah kami sebutkan telah


terpenuhi. Akan tetapi hendaklah diketahui bahwa kata-kata,


terkadang adalah kafir dan murtad akan tetapi yang


mengucapkannya tidak kafir karenanya, karena adanya penghalang


yang menghalangi divonis kufurnya. Maka laki-laki ini yang


menyebutkan tentang dirinya bahwa ia mencela agama di saat


marah. Kami katakan kepadanya: jika kemarahanmu sudah tidak


terkendali, di mana engkau tidak tahu apa yang engkau katakan,


saat itu engkau tidak tahu apakah engkau berada di langit atau di


bumi? Dan engkau mengucapkan kata-kata yang tidak engkau


rencanakan dan tidak engkau ketahui, maka sesungguhnya ucapan


ini tidak ada hukum baginya, dan tidak dihukumkan kepadamu


dengan murtad, karena ia adalah ucapan yang muncul tanpa di


kehendaki dan diinginkan. Dan setiap ucapan yang terjadi tanpa


keinginan dan tujuan, maka sesungguhnya Allah I tidak


menyiksanya. Firman Allah I dalam masalah aiman (sumpah):





Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk


bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, (QS. al-


Maidah:89)


Apabila orang yang berbicara dengan kata-kata kufur ini di saat


marah yang tidak terkendali sampai ia tidak mengetahui apa yang dia


ucapkan, dan tidak mengetahui apa yang keluar darinya, maka


sesungguhnya tidak ada hukum bagi ucapannya dan saat itu tidak


dihukumkan murtadnya. Dan apabila tidak dihukumkan murtadnya


8


(tidak divonis murtad) maka sesungguhnya istri tidak terfasakh


nikahnya darinya, bahkan tetap berada di dalam ikatan


perkawinannya. Akan tetapi apabila manusia merasa marah


semestinya ia bersungguh-sungguh mengobati rasa marah ini dengan


pesan Nabi r saat seseorang bertanya kepada beliau r, ia berkata: Ya


Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.' Beliau menjawab, 'Janganlah


engkau marah.' Lalu ia mengulangi beberapa kali, beliau r bersabda,


'Janganlah engkau marah.'2 Maka hendaklah ia bisa mengendalikan


dirinya dan hendaknya dia berlindung kepada Allah I dari godaan


syetan yang terkutuk. Apabila ia sedang berdiri hendaklah ia duduk,


dan apabila sedang duduk hendaklah ia berbaring, dan apabila


marahnya sangat memuncak maka hendaklah ia berwudhu', maka


sesungguhnya semua perkara ini menghilangkan kemarahan darinya.


Sangat banyak orang-orang yang merasakan penyesalan tak berujung


karena menurutkan rasa marah mereka, akan tetapi setelah


terlambat (nasi sudah menjadi bubur).


Syaikh Bin Utsaimin – Majmu' Fatawa wa rasa`il (2/152)


2 Al-Bukhari (6116) dan yang lainnya.



Tulisan Terbaru

Keutamaan Puasa Enam ...

Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal Shawal