Hakim yang Adil dan Bijaksana
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa
sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu
dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya, dan Kami
menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami
telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum
(yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami
berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami tundukkan gunung-gunung
dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kami lah
yang melakukannya. Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud
membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam
peperanganmu. Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).
4
Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkahinya. dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah Kami memelihara mereka itu.” (al-Anbiya: 78—82)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman mengisahkan bagaimana keadilan dan kebijakan Nabi Dawud dan putranya, Sulaiman ‘Alaihissalam, ketika keduanya memberi keputusan tentang sebidang kebun anggur yang dirusak oleh kambing milik kaumnya, yang tercerai-berai di malam hari tanpa ada seorang pun yang mengawasinya hingga merusak anggur-anggur tersebut.
Ibnu Katsir Rhadiyallahu ‘anhu menukil dari Abu Ishaq, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu ‘anhu, tentang firman Allah Shubhanahu wa ta’alla ini. Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu ‘anhu mengatakan, “(Yaitu) kebun anggur yang mulai tumbuh, lalu dirusak oleh kambing-kambing tersebut.”
Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian, Nabi Dawud ‘Alaihissalam memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun anggur tersebut.” Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam yang melihat peristiwa itu, berkata, “Bukan demikian, wahai Nabi Allah.” “(Kalau begitu), bagaimana?” tanya Nabi Dawud.
5
Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam berkata, “Anda serahkan kebun anggur itu kepada pemilik kambing agar dia mengurusi kebun tersebut hingga kembali seperti semula, dan Anda serahkan kambing-kambing itu kepada pemilik kebun anggur ini agar dia memperoleh sesuatu dari kambing tersebut. Apabila anggur-anggur itu sudah kembali seperti semula, Anda serahkan kembali kebun anggur kepada pemiliknya, dan kambing-kambing itu kepada pemiliknya.” Inilah maksud firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat).”
Selain itu, agar kita tidak salah memahami—melalui ungkapan ini—seolah-olah ada bentuk merendahkan derajat Nabi Dawud ‘Alaihissalam, Allah Shubhanahu wa ta’alla melanjutkan firman -Nya:
“Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan
ilmu.”
Bahkan, pada ayat-ayat selanjutnya, Allah Shubhanahu wa ta’alla menerangkan keutamaan yang dimiliki oleh kedua nabi Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mulia ini.
Jadi, Nabi Dawud ‘Alaihissalam memutuskan perkara dengan keadilan, sedangkan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam memutuskannya dengan fadhl (karunia, keutamaan). Allah Shubhanahu wa ta’alla
6
memberi pujian kepada Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam atas keputusan beliau yang sangat tepat, sebagai taufik dari Allah Shubhanahu wa ta’alla, karena Allah mencintai rifq (kelemah lembutan) dalam segala hal. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah Rhadiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya Allah Maha lembut, dan mencintai kelemahlembutan dalam segala hal’.” (HR. Bukhari)
Kita pun tidak boleh lupa bahwa Nabi Sulaiman adalah putra Nabi Dawud Alaihissalam, sehingga setiap keutamaan yang diperoleh oleh Nabi Sulaiman Alaihissalam, tentu saja itu adalah keutamaan pula bagi Nabi Dawud Alaihissalam. Seorang hakim, jika dia berijtihad, kemudian keliru dalam keputusannya, dia memperoleh satu pahala. Kalau dia benar, dia menerima dua pahala. Ini dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-’Ash rhadiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
“Apabila seorang hakim berijtihad, lalu dia benar, dia memperoleh dua pahala. Dan jika seorang hakim berijtihad, dan ternyata keliru, dia mendapat satu pahala.” (HR. al-Bukhari (7352) dan Muslim (1716)
Dari Abu Hurairah Rhadiyallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ Dahulu ada dua orang wanita bersama anak mereka masing-masing. Tiba-tiba datanglah seekor serigala membawa anak salah seorang dari mereka. Berkatalah seorang dari wanita itu kepada temannya, “Yang dibawa lari serigala adalah putramu.”
Yang lain membantah, “(Bukan). Yang dibawa serigala itu adalah putramu.” Akhirnya, keduanya mengajukan perkara mereka kepada Nabi Dawud ‘Alaiahissalam. Lalu, beliau pun memutuskan perkara itu dengan memenangkan wanita yang lebih tua. Kedua wanita itu keluar menemui Nabi Sulaiman bin Dawud ‘Alaiahissalam, lalu menceritakan perihal mereka. Setelah itu, Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam berkata kepada orang-orang, “Ambilkan untuk saya
8
pisau agar saya bisa membagi dua anak ini untuk mereka.”Tiba-tiba, wanita yang lebih muda berkata, “Jangan lakukan, semoga Allah merahmati Anda. Ini putranya.” Nabi Sulaiman pun memenangkan perkara untuk wanita yang lebih muda ini.” (HR. Bukhari).
Akhirnya, Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam memutuskan bahwa anak itu adalah milik wanita yang lebih muda. Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam sama sekali tidak bermaksud sungguh-sungguh ingin membelah bayi itu. Akan tetapi, beliau ingin mengetahui lebih jelas. Ibu bayi yang sesungguhnya tentu tidak rela bayi itu mati. Dia lebih suka bayi itu tetap hidup terpelihara walaupun tidak berada di sisinya. Adapun yang bukan ibu si bayi, tentu tidak keberatan bayi itu dibelah dua, sebab dengan demikian, mereka berdua sama-sama kehilangan bayi. Oleh sebab itulah, ketika menerima keputusan ini, wanita yang lebih tua dengan gembira menyetujui agar bayi itu dibelah dua, sedangkan yang lebih muda tidak. Naluri keibuan dan kasih sayangnya kepada sang putra mendorongnya untuk merelakan, biarlah bayi itu jauh dari sisinya, yang penting dia tetap hidup dan terawat, walaupun bukan di pangkuan ibu kandungnya.
Sambil meratap iba, wanita muda itu berkata, “Jangan, wahai Nabi Allah. Jangan lakukan, semoga Allah merahmati Anda, biarlah. Itu putranya, serahkanlah kepadanya!”
9
Perhatikanlah keputusan Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam, yang mengakui bahwa bayi itu anak wanita yang lebih muda. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jika tanda-tanda sebuah kebohongan terlihat jelas, tidak dapat dijadikan dasar hukum terhadap orang yang mengakuinya. Ada tidaknya pengakuan itu sama saja. Artinya, perkataan si wanita yang lebih muda bahwa bayi itu milik wanita yang lebih tua, tidak dapat diterima, sehingga Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam justru memutuskan yang lebih mudalah yang benar.
Jadi, wanita yang lebih tua ini tidak menolak andai kata bayi itu memang dibelah dua, karena dia kini sebatang kara, kehilangan anak. Kemudian, dia pun ingin wanita muda itu juga sama seperti dia, kehilangan anaknya. Akan tetapi, melihat kekhawatiran dan kasih sayang wanita muda itu kepada bayi tersebut, permohonannya agar bayi itu tetap hidup—walaupun di tangan ibu yang lain—daripada mati, justru memperkuat kesimpulan Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam, bahwa adanya kasih sayang kepada bayi itu merupakan salah satu bukti bahwa wanita muda ini adalah ibu si bayi. Beliau pun yakin, melalui sikap menggampangkan dari wanita yang lebih tua, bahkan sangat mendukung agar bayi itu dibelah dua, bahwa wanita yang lebih tua ini bukanlah ibu si bayi. Oleh sebab itu, beliau pun mengambil bayi tersebut dan menyerahkannya kepada wanita yang lebih muda. Jadi, keputusan yang dibuat Nabi Dawud
10
‘Alaiahissalam dengan memenangkan perkara wanita yang lebih tua adalah berdasarkan data-data yang terlihat (lahiriah), karena bayi itu ada di tangan wanita yang lebih tua. Kadang-kadang, ujian yang diberikan, seperti yang dilakukan Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam itu amat diperlukan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan ‘Ali untuk membunuh seorang laki-laki yang dikebiri (buah pelirnya) dengan tujuan hendak menampakkan kebersihan orang tersebut dari tuduhan dan menampakkan bahwa tuduhan yang muncul dari sekadar melihat tidaklah sepenuhnya benar. Seperti itu pula yang terjadi dalam kisah penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahandanya, Ibrahim ‘Alaiahissalam. Dikatakan bahwa dalam peristiwa ini, Allah Shubhanahu wa ta’alla ingin menguji Nabi Ibrahim ‘Alaiahissalam, sejauh mana beliau menyambut dan siap melaksanakan perintah Allah Shubhanahu wa ta’alla itu walaupun melalui mimpi. Wallahu a’lam.
Dalam kisah ini terlihat betapa tajam firasat Nabi Sulaiman ‘Alaiahissalam, dan alangkah jeniusnya beliau dalam menyimpulkan satu keputusan hukum melalui indikasi dan tanda-tandanya. Di balik itu semua, yang harus diyakini adalah bahwa para nabi itu juga manusia biasa, seperti kita. Kadang, mereka memutuskan persoalan sebagaimana yang terlihat oleh mereka dengan ijtihad yang khusus dan bukan wahyu. Dari sinilah, pernah diriwayatkan
11
oleh
Ummu Salamah, beliau mengatakan, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Saya hanya seorang manusia biasa, sementara kalian mengajukan perkara kalian kepada saya. Bisa jadi, sebagian kalian lebih pandai mengemukakan alasannya daripada yang lain, lalu saya memenangkan perkaranya sesuai dengan apa yang saya dengar. Oleh sebab itu, siapa yang saya menangkan perkaranya, dengan membawa hak saudaranya, berarti saya telah memberinya sepotong api neraka’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Daqiqil ‘Ied Rhadiyallahu ‘anhu berkata, “Ini adalah dalil untuk memberlakukan hukum sesuai dengan data yang terlihat (lahiriah) sekaligus memperlihatkan kepada manusia bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sama seperti manusia lainnya. Meskipun ada perbedaan antara beliau dengan manusia biasa dalam hal penampakan terhadap perkara gaib yang diberikan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada beliau. Itu pun dalam hal-hal yang khusus, bukan hukum-hukum yang umum….”
Artinya, bisa saja seorang nabi keliru dalam memutuskan sesuatu di antara umatnya. Akan tetapi, jika ijtihad itu keliru, Allah
12
Shubhanahu wa ta’alla akan meluruskannya. Adapun dalam hal penyampaian ajaran, seorang nabi tidak akan keliru. Dengan demikian, hal ini tidak menggugurkan kemaksuman mereka sama sekali. Alangkah jauhnya kita dibandingkan mereka, padahal kita mengaku mengikuti jalan mereka. Sering, tanpa periksa, hanya dengan mengandalkan kepercayaan kita kepada yang membawa berita atau keterangan, kita memutuskan sebuah perkara, padahal masalahnya tidaklah demikian. Akhirnya, timbul perselisihan di antara sesama kaum muslimin.
Satu hal yang dapat kita ambil pula dari kisah dua wanita ini ialah bahwa rasa dengki membuat hati menjadi mati. Karena dengki, wanita yang lebih tua kehilangan naluri keibuannya, sehingga rela mengorbankan bayi ‘tak berdosa’ demi memuaskan keinginan dirinya. Karena dengki pula setan yang terkutuk berusaha sekuat tenaganya menyeret manusia agar menemaninya di neraka. Karena dengki pula orang-orang Yahudi berusaha menghancurkan kaum muslimin, di antaranya dengan melepaskan kaum muslimin dari keyakinan mereka.
Semoga kisah ini bermanfaat.