HAJI DAN TAWAKKAL
Sesungguhnya haji adalah perjalan yang penuh barakah dan agung
menuju bumi yang terbaik lagi mulia untuk memenuhi panggilan Allah,
memburu pahala-Nya, berharap untuk mendapatkan keagungan janji-Nya
dan banyaknya balasan-Nya, serta pahala yang melimpah. Haji adalah
gerbang selamat datang untuk para tamu Allah yang menghapus kesalahan
dan menambah kebaikan, mempersedikit kemungkinan untuk melakukan
kemaksiatan, dan membebaskan dari api neraka.
Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk haji yang diniatkan
untuk Rabb-nya dengan bertawakkal kepada-Nya dan menyerahkan segala
urusannya kepada-Nya. Meminta perlindungan, taufiq, dan hidayah hanya
kepada-Nya saja. Ia mengetahui bahwa perkara seluruhnya ada dibawah
ketentuan dan taqdir Allah, jika Allah berkehendak maka terjadilah,
sedangkan jika Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi, dan tidak
ada kekuatan kecuali pada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Bersamaan dengan itu ia membawa bekalnya, mencurahkan semua usaha
untuk mendapatkan rahmat dan pahala dari Allah.
Renungkanlah firman Allah dalam ayat haji:
“Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa”1
Telah disebutkan sebab turunnya ayat ini adalah ketika ada
sekelompok manusia keluar untuk haji tanpa membawa bekal, mereka
mengira itulah tawakkal yang sebenarnya. Kemudian mereka memaksa
manusia untuk memberi kebutuhan mereka.
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dalam shahihnya dari Abdullah bin
Abbas berkata: “ Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa
bekal, mereka mengatakan: “ kami bertawakkal”. Jika mereka tiba di
Makkah maka mereka meminta bantuan kepada penduduknya. Maka Allah
menurunkan firman-Nya:
1 Al Baqarah : 197
4
“Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa”2
Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dalam kitab Tawakkal dari Muawiyah
ibnu Qurroh berkata: Umar bertemu dengan manusia dari penduduk
Yaman. Beliau berkata:
“Siapa kalian?” mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang
bertawakkal”. Beliau berkata: “Kalian orang-orang yang bertawakkal?,
sesungguhnya orang yang bertawakkal itu yang membawa biji-bijian dari
bumi dan bertawakkal kepada Allah”.3
Sesungguhnya hakikat tawakkal yaitu amalan hati, penghambaan diri
terhadap Allah, percaya pada-Nya, kembali kepada-Nya, menyerahkan diri,
dan ridho atas apa yang terjadi pada dirinya menurut ilmu Allah yang
meliputi segala sesuatu. Allah memilihkan yang terbaik untuk hamba-Nya
jika ia menyerahkan semua urusannya kepada-Nya, dengan tidak
meninggalkan sebab yang telah diperintahkan dan kesungguhan untuk
mendapatkannya. Makna tawakkal adalah, bersandar diri kepada Allah saja
dan tidak menyekutukan-Nya dengan melaksanakan sebab-sebab yang
telah diperintahkan.
Manusia dalam menjalankan tawakkal terbagi menjadi tiga, yang
pertama: ia meninggalkan sebab atau usaha dengan bertawakkal. Kedua:
meninggalkan tawakkal dengan menjalankan sebab-sebabnya. Ketiga
adalah yang diantara keduanya, Mengetahui bahwa tawakkal yang
sebenarnya tidak akan sempurna kecuali dengan menjalankan sebab, maka
tawakkal kepada Allah itu bersamaan dengan menjalankan sebab. karena
keduanya itu harus dilakukan untuk mewujudkan tawakkal yang
sebenarnya.
Kedua dasar tawakkal diatas telah digabungkan dalam banyak nash,
seperti firman Allah:
2 Shahih Bukhari (1523)
3 At Tawakkul (10)
5
“Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya..”4
dan firman-Nya:
“ hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami
meminta pertolongan.”
Serta ayat-ayat lain yang sejenis.
Diriwayatkan dari Imam Muslim dalam shahihnya dari hadits Abu
Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin
yang lemah, dan di setiap kebaikan, bersungguh-sungguhlah terhadap
sesuatu yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan pada Allah serta
jangan lemah”.5
Sabda Nabi: “bersungguh-sungguhlah terhadap sesuatu yang
bermanfaat” terdapat perintah untuk melaksanakan usaha yang baik dalam
urusan agama ataupun duniawi. Bahkan didalamnya terdapat perintah
untuk bersungguh-sungguh dengan dibarengi niat, tekad yang kuat, dan
pelaksanaan. Sabda Nabi: “dan mintalah pertolongan kepada Allah”
didalamnya terdapat iman dengan ketentuan dan taqdir Allah dan perintah
untuk bertawakkal kepada-Nya, bersandar diri, dan percaya kepada-Nya.
Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik berkata:
4 Hud : 123
5 Shahih Muslim (2664)
6
Seorang lelaki berkata kepada Rasulullah: “apakah aku mengikatnya dan
tawakkal ataukah aku melepaskannya dan tawakkal?” Rasulullah
menjawab, “ikatlah dan tawakkallah”6.
Rasulullah memberi petunjuk untuk menggabungkan dua perkara
melaksanakan sebab dan bersandar diri kepada Allah.
Tirmidzi meriwayatkan juga dari Umar bin Khattab dari Nabi berkata:
Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal maka
Allah akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rizki
kepada burung yang pergi di pagi hari dengan rasa lapar kemudian pulang
sore dengan perut kenyang”7.
Dua perkara tersebut disebutkan secara bersamaan, burung pergi di
pagi hari petang ia berusaha mencari rizki dengan bersungguh-sungguh
untuk mendapatkannya.
Dikatakan kepada Imam Ahmad apa yang dikatakan oleh seorang
lelaki yang duduk di rumahnya atau masjid ia berkata:
“Aku tidak akan melakukan apapun sampai rizki mendatangiku”.
Imam Ahmad berkata, "ini adalah laki-laki yang bodoh. Tidakkah ia
mendengar sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku dibawah lemparan panahku”.
Beliau berkata ketika menyebutkan tentang burung:
“mereka pergi dipagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore hari dengan
perut kenyang”.8
6 Sunan Tirmidzi (2517)
7 Sunan Tirmidzi (2344) dan dishahihkan oleh Al Albani dalam shahih Al Jami’ (5254)
8 Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qasidin (95)
7
Dari pelajaran tersebut diketahui bahwa dalam tawakkal harus ada
penggabungan antara melaksanakan usaha dan bersandar diri kepada
Allah. Barangsiapa yang meninggalkan sebab dan ia beranggapan telah
bertawakkal maka hakikatnya ia orang bertawakkal yang tertipu, dan dari
perbuatannya ini ia hanya mendapatkan kelemahan, dan sia-sia.
Seandainya seseorang berkata, “ Seandainya aku ditakdirkan pintar maka
aku akan bersungguh-sungguh atau tidak akan bersungguh-sungguh”, atau
ia berkata, “seandainya aku ditakdirkan punya anak maka aku akan
menikah atau tidak akan menikah”. Demikianlah ia berharap untuk
mendapatkan hasil atau panen tanpa menanam dan menyiram lebih dulu.
Demikian juga dengan orang yang meninggalkan keluarga dan anaknya
tanpa nafkah dan makanan, dia juga tidak berusaha untuk
mendapatkannya hanya bertawakkal pada taqdir. Semua itu sia-sia,
bermalas-malasan, dan bertawakkal tanpa (mencari) usaha.
Ibnu Qudamah berkata, “Sebagian manusia mengira bahwa makna
tawakkal itu meninggalkan usaha dengan anggota badan, meninggalkan
pengaturan hati, dan jatuh ke bumi seperti daging diatas papan landasan
tempat pemotongan. Ini adalah dugaan orang-orang bodoh. Hal itu
diharamkan oleh syari’at.”9
Barangsiapa yang melaksanakan sebab dengan menunggu datangnya
sebab secara sengaja dan lalai dari mengambil musabbab (akibat) yang bisa
didapat darinya, maka tawakkal yang seperti ini lemah dan berujung pada
kesia-siaan. Oleh karena itu sebagian ulama berkata: “Meninggalkan sebab
itu syirik dalam tauhid, meninggalkan sebab menjadikan sebab
berkurangnya akal, berpaling dari sebab secara keseluruhan tercela dalam
syariat. Sesungguhnya tawakkal dan berharap itu maknanya dibangun atas
tauhid, akal dan syariat”.
Sesungguhnya tawakkal kepada Allah hanya dilakukan oleh mukmin
yang benar dalam setiap urusan agama dan dunianya, juga yang benar
dalam shalatnya, puasanya, hajinya, berbuat baiknya, dan selainnya dari
urusan agamanya. Dan juga yang benar dalam mendapatkan rizkinya,
mencari yang dihalalkan, dan selainnya dari urusan dunianya.
9 Mukhtashar Minhajul Qasidin (361)
8
Tawakkal adalah dasar dari semua perkara agama, kedudukannya
seperti kedudukan badan dari kepala. Bagaimana kepala itu bisa berdiri jika
tidak diatas badan. Begitu juga iman tidak akan tegak bersama amalanamalannya
kecuali bertumpu dengan tawakkal.
Semoga Allah menjadikan kita dari orang-orang yang bertawakkal
dengan sebenar-benarnya, juga termasuk dari orang-orang yang berpegang
teguh kepada Allah dengan keyakinan dan kejujuran. Allahlah sebaik-baik
penolong.
Haji dan Memenuhi Panggilan Allah
Sesungguhnya haji adalah bentuk ketaatan yang agung dan ibadah
yang mulia. Didalamnya terdapat realisasi penghambaan dan
kesempurnaan ketundukan dan kerendahan diri dihadapan Rabb Azza wa
Jalla. Haji mengeluarkan manusia dari kenikmatan dan gemerlap dunia
menuju kepada Rabb-nya, meninggalkan harta dan sanak keluarganya,
meninggalkan rumah dan tanah airnya, melepaskan pakaian yang biasa ia
kenakan dan hanya mengenakan dua helai pakaian (pakaian ihram), tidak
mengenakan penutup kepala, merendahkan diri kepada Rabb-nya,
meninggalkan wewangian dan istri, melakukan banyak amalan sunnah
disela-sela manasik haji dengan hati yang khusyu’, mata yang berlinang air
mata, dan lisan yang berdzikir, mengharap rahmat dari Rabb-nya, takut
akan adzab-Nya, dan syiar dari semua yang disebutkan diatas adalah:
(Labbaik Allahumma labbaik).
Maknanya, sesungguhnya aku tunduk kepada-Mu wahai Rabb, aku
memenuhi panggilan-Mu, mentaati hukum-Mu dan melaksanakan perintah-
Mu.
Talbiyah adalah syi’ar haji. Seorang muslim memulai amalan haji
dengan talbiyah dan berjalan menuju Makkah dengan bertalbiyah hingga
tiba di Baitullah kemudian segera melaksanakan thawaf. Setelah itu ia
bertalbiyah setiap kali berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain dan
dari satu manasik ke manasik yang lain. Jika ia berjalan menuju Arafah
maka ia bertalbiyah, begitu juga jika ia menuju Muzdalifah dan Mina
sampai melempar jumrah aqabah baru ia memutus talbiyah. Talbiyah
adalah syi’ar haji dan yang disunnahkan dalam amalan-amalan manasik.
Betapa besar pengaruh dari ibadah haji yang penuh keberkahan bagi
kaum muslimin terhadap pensucian dan perbaikan jiwa, dan sebagai obat
kekurangannya dalam menjalankan perintah dan melaksanakan hak-hak
Allah.
3
Bukankah wajib atas seorang muslim untuk selalu bertalbiyah1
terhadap panggilan Allah, melaksanakan perintahnya, dan menunaikan
hukum-Nya. Bukankah wajib atas seorang muslim untuk menjadikan
urusannya dalam setiap ketaatan untuk bertalbiyah terhadap panggilan
Allah dan melaksanakan perintah-Nya.
Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk shalat, zakat, puasa,
shadaqah, menepati janji, amanah, berbuat baik, dan melarang mereka dari
berzina, membunuh, meminum khamr, berdusta, berbuat curang, dan
khianat. Bagaimanakah posisi seorang muslim terhadap perintah-perintah
dan larangan-larangan tersebut. Apakah ia harus memenuhi perintah Allah
dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya ataukah ia akan bergelut
dengan kefasikan dan kemaksiatan.
Sesungguhnya hakikat Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah
dengan mentauhidkan-Nya dan melaksanakan ketaatan kepadanya, serta
berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” 2
Firman Allah: (masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan () yaitu
berislam dengan melaksanakan syariat Allah dan taat terhadap perintah-
Nya. Dan firman-Nya: (secara keseluruhan) yaitu semua hal. Mujahid
berkata: “ yaitu laksanakan semua amalan-amalan dan jalan-jalan
kebaikan”.3
1 Memenuhi panggilan
2 Al Baqarah : 208
3 Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (I/163)
4
Allah memerintahkan mereka dengan semua cabang iman dan syari’atsyari’at
Islam sedangkan syari’at Islam itu banyak. Oleh karena itu
hendaknya mereka melakukkannya semampu mereka.. Sebagaimana Allah
berfirman:
“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian..”4
Dalam sebuah hadits:
“ Jika Aku memerintahkan kalian dengan sebuah perintah maka
lakukan semampu kalian”.
Ayat-ayat yang mengandung perintah untuk berserah diri kepada
Allah, memenuhi panggilan-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan
senantiasa taat kepada-Nya itu sangat banyak.
Wahai orang yang diperintahkan berhaji oleh Allah kemudian kalian
penuhi panggilan-Nya dan kalian datang menuju baitullah dengan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya,. Bagimana dengan
perintah-perintah yang lain? Bagaimana dengan shalat yang merupakan
tiang agama dan ibadah yang paling agung setelah syahadat? Bagaimana
shalatmu? Bagimana puasa dan zakatmu? Bagaimana usahamu untuk
menjauhi hal-hal yang dilarang dan diharamkan? Jika kamu melaksanakan
semuanya maka bertahmidlah dan mintalah kepada-Nya tambahan ibadah
yang lain. Akan tetapi jika kamu lalai dan luput maka hisablah dirimu
sebelum kamu dihisab di hari kiamat.
Sesungguhnya hari ini adalah hari untuk beramal dan belum ada
hisab, sedangkan besok adalah hari hisab dan tidak ada lagi amal.
Sebagaimana Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
4 At Taghabun : 16
5
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya ini adalah amalan kalian, Aku hitung
untuk kalian kemudian Aku penuhi janji atas amal kalian. Barangsiapa yang
mendapati amalannya baik maka pujilah Allah, dan barangsiapa yang
mendapati amalannya tidak baik maka janganlah kau mencela kecuali dirimu
sendiri”5
Sesungguhnya manusia dengan perintah dan larangan terbagi menjadi
beberapa keadaan: diantara mereka ada yang mewajibkan diri mereka
untuk melakukan ketaatan dan menahan diri dari perbuatan maksiat.
Demikian ini adalah keadaan orang yang beragama dengan sempurna, dan
termasuk dari sifat orang bertaqwa yang paling utama. Keadaan yang lain
yaitu mereka tidak melaksanakan ketaatan dan lebih mendahulukan
perbuatan maksiat. Ini adalah keadaan yang paling buruk dari keadaan
orang-orang yang terbebani dengan syari’at. Dia berhak mendapatkan adzab
dikarenakan ia telah lalai untuk mengerjakan apa yang diperintahkan
kepadanya dari ketaatan, dan juga adzab dikarenakan ia telah melakukan
perbuatan maksiat. Diantara mereka juga ada yang melaksanakan ketaatan
dan mendahulukan perbuatan maksiat, maka ia berhak mendapatkan
adzab. Karena ia telah celaka terkalahkan oleh syahwat untuk lebih
mendahulukan perbuatan maksiat. Keadaan yang lain yaitu mereka yang
menghalangi orang untuk melakukan ketaatan dan mencegah dari
perbuataan maksiat. Orang tersebut berhak mendapatkan adzab dari
agamanya.
Wajib bagi seorang muslim untuk menasehati dan menjaga dirinya
sendiri agar selalu melakukan ketaatan kepada Rabb-nya dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan kesabaran
dan mengharapkan pahala.
Salah seorang salaf berkata, “ Sesungguhnya kami telah meneliti dan
kami dapati bahwa bersabar dalam mentaati Allah itu lebih mudah daripada
bersabar atas adzab-Nya”. Berkata yang lain, “ Bersabarlah wahai hamba
Allah atas amalan yang pahala-Nya tidak cukup bagi kalian, dan
bersabarlah dari amalan yang adzab nya membuat kalian tidak bersabar”.
5 Shahih Muslim (2577)
6
Betapa besar manusia menjaga dirinya di dunia ini dari perkaraperkara
yang ditakutkankan akan membahayakan tubuhnya atau
mempengaruhi kesehatannya. Bersamaan dengan itu mereka tidak menjaga
diri dari perkara-perkara yang akan membawa dirinya kepada hukuman
Allah dan mengarahkan dirinya kepada adzab-Nya.
Ibnu Syubrumah berkata, “ Aku heran terhadap orang yang menjaga
makanannya karena takut terhadap penyakit, akan tetapi dia tidak menjaga
dari perbuatan dosa karena takut ancaman neraka”.
Hammad bin Zaid berkata, “ Aku heran terhadap orang yang menjaga
makanannya karena takut akan membahayakan dirinya, sedangkan ia tidak
menjaga dirinya dari dosa karena takut akan akibatnya”.6
Wahai saudaraku yang diberi taufiq pikirkanlah semua yang telah
disebutkan tadi, juga dengan mengingat wasiat Nabi terhadap para jamaah
haji. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan selainnya dari Abi
Umamah, ia berkata, “ Aku mendengar Rasulullah berkhutbah dalam haji
wada’ bersabda: ( Bertaqwalah kepada Rabb kalian, shalatlah lima waktu,
puasalah pada bulan ramadhan, tunaikanlah zakat dan harta kalian, dan
taatilah pemimpin kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian).
Tirmidzi berkata: “ini adalah hadits hasan shahih”. Diriwayatkan dari
Hakam berkata: “shahih atas syarat muslim”. Disetujui oleh Imam Adz-
Dzahabi.7
Kami memohon kepada allah untuk menjadikan kami dan kalian
semua termasuk dari orang-orang yang memenuhi panggilan-Nya dengan
sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya. Semoga Allah mengilhami kepada
kita petunjuk, juga memberi taufiq kepada kita untuk mentaati-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Pengabul Do’a.
6 Lihat Adab Ad Dunya Wa Ad Din oleh Al Mawardi (hal. 103-104)
7 Sunan At Tirmidzi (616) dan Al Mustadrak (I/9)
Haji dan Pendidikan Jiwa
Muqaddimah
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dan kesudahan yang baik
adalah untuk orang yang bertaqwa, shalawat dan salam atas imam para
Rasul Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan sahabatnya semua.
Amma ba’du:
Betapa agung manfaat dari haji, betapa banyak kebaikan dan
keberkahan darinya, alangkah bagusnya pelajaran dan nasehat darinya,
serta faidah mulia yang tak terhitung. Akan tetapi, tidaklah mudah bagi
kebanyakan orang yang berhaji untuk memperoleh manfaat haji, faidah
serta pelajaran yang dapat diambil darinya padahal hal tersebut sangatlah
penting dan sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka semuanya.
Oleh karena itu saya menulis risalah ini dengan harapan dapat
mewujudkan maksud dan tujuan yang mulia ini. Saya beri judul tulisan ini:
“ Haji dan Pendidikan Jiwa” dengan harapan semoga Allah menerimanya
dengan sebaik-baik penerimaan dan menjadikannya bermanfaat bagi
hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang maha memberi taufiq, Allahlah
sebaik-baik penolong.
Haji Dan Perbaikan Diri
Sesungguhnya haji adalah madrasah yang penuh keberkahan untuk
membimbing jiwa, mensucikan hati, dan menguatkan iman. Di dalam
proses manasik haji, kaum muslimin memperoleh pelajaran yang agung,
hikmah yang mengesankan, dan faidah yang mulia dalam masalah aqidah,
ibadah, dan akhlaq. Haji sesungguhnya adalah madrasah pembinaan
keimanan yang akan meluluskan orang beriman yang bertakwa serta
hamba Allah yang diberi taufiq. Allah Berfirman:
“dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka..”1
Manfaat dan faidah haji tak mungkin bisa dihitung. Begitu juga
dengan hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Sesungguhnya firman Allah
dalam ayat (ìÏot ) ia adalah jamak dari manfaat. Kata (ìÏot ) tampil dalam
bentuk nakirah menunjukkan banyaknya manfaat yang terkandung di
dalamnya. Ditunjukkannya menfaat-manfaat ini adalah perkara yang
dimaksudkan dalam ibadah haji karena huruf lam pada firman Allah (
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka ) adalah lam
ta’lil yang berkaitan dengan firman-Nya ( dan berserulah kepada manusia
untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus ) Maksudnya, jika kamu
seru mereka untuk berhaji niscaya mereka akan mendatangimu dengan
berjalan kaki atau berkendaraan supaya mereka menyaksikan manfaatmanfaat
haji. Artinya, ia menghadirkan manfaat tersebut dan yang
dimaksud dengan menghadirkan manfaat adalah ia menghasilkan dan
mengambil manfaat dari hajinya.
Oleh karena itu, diantara bentuk kehormatan bagi setiap orang yang
Allah beri taufiq dan kemudahan dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah
ini yaitu Allah berikan semangat yang tinggi dalam memperoleh manfaat,
faidah, dan pelajaran dari hajinya. Di saat yang sama, ia juga
mengharapkan pahala yang besar, pengampunan dosa, dan penghapusan
keburukan. Telah ditetapkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:
“Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah dan ia tidak melakukan keburukan
ataupun kefasikan, ia akan kembali seperti pada hari ia dilahirkan oleh
ibunya”. (HR Bukhari dan Muslim)2. Ditetapkan dari Nabi juga bahwa beliau
bersabda: “ Iringilah haji dengan umroh, maka sesungguhnya keduanya
1 Al Hajj : 27-28
2 Shahih Bukhari (1820) dan Shahih Muslim (1350)
4
menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pandai besi menghilangkan
karat besi.” (HR Nasa’i)3
Pantaslah bagi orang yang memperoleh keuntungan dan
memenangkan harta yang berharga ini untuk kembali ke negerinya dalam
keadaan yang suci, jiwa yang baik, dan kehidupan baru yang dipenuhi oleh
iman dan takwa serta kebaikan, perbaikan diri, keistiqamahan, dan
senantiasa mentaati Allah ‘Azza wa Jalla.
Para ulama telah menyebutkan bahwa perbaikan serta penyucian diri
ini jika terdapat pada seorang hamba maka itu adalah tanda keridhaan dan
tanda hajinya diterima. Jika seseorang keadaannya membaik setelah haji
dimana ia berubah dari yang tadinya buruk menjadi baik, dan yang tadinya
baik menjadi lebih baik lagi, maka sungguh itu adalah tanda bagusnya ia
dalam memaknai hajinya. Karena diantara bentuk balasan kebaikan adalah
diberikan kebaikan yang lain. Allah berfirman:
“tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”4
Orang yang bagus ibadah hajinya dan berusaha menyempurnakannya
serta menjauhi pengurang dan perusaknya maka ia keluar dengan kondisi
yang lebih baik dan memiliki kecendrungan pada kebaikan.
Dalam sebuah hadits yang sah dari Nabi, beliau bersabda: ( “Haji
yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga”)5. Tidak diragukan
lagi bahwa semua yang melaksanakan ibadah haji sangat mengharapkan
hajinya mabrur dan usaha serta amal shalihnya diterima. Ciri yang jelas
untuk haji yang mabrur dan diterima adalah bila seseorang menunaikannya
dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan sunnah Rasulullah yang
mana kedua hal ini adalah syarat diterimanya semua jenis ibadah.
Kemudian keadaannya setelah haji jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Maka ada dua ciri haji yang diterima: yang pertama ada pada saat haji
berlangsung dimana sesoerang itu ikhlas karena Allah dan mengikuti
3 Sunan An Nasa’I (V/115). Dishahihkan oleh Al Albany dalam Shahih Al Jami’ (2901)
4 Ar Rahman : 60
5 Shahih Muslim (1349)
5
sunnah Rasulullah dan ciri yang kedua ada setelah haji yaitu adanya
perbaikan keadaan seseorang setelah haji yang ditandai dengan
bertambahnya ketaatan kepada Allah, menjauhi dosa dan maksiat, dan ia
memulai hidupnya dengan lebih baik yang dihiasi dengan kebaikan,
perbaikan diri, dan istiqamah.
Hal yang perlu diperhatikan disini bahwa seorang muslim tidak
memiliki jalan untuk memastikan amalannya diterima sebaik apapun dia
berusaha. Allah berfirman menjelaskan keadaan orang mukmin yang
sempurna dan keadaan mereka yang mendekatkan diri kepada Allah
dengan berbagai ketaatan:
“dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan
hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan
kembali kepada Tuhan mereka”6
Maksudnya, mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada
mereka dari ibadah, diantaranya shalat, zakat, haji, puasa, dan selainnya.
Mereka takut tidak diterimanya amalan dan ketaatan mereka saat
mempersembahkannya kepada Allah dan ketika berdirinya mereka
dihadapan Allah.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Aisyah berkata: “
Aku bertanya wahai Rasulullah maksud ayat (dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut) Apakah
dia seseorang yang berzina dan minum khomr? Rasulullah menjawab: tidak
wahai putri Abu Bakr, atau putri Ash-Shiddiq, akan tetapi dia adalah orang
yang berpuasa, shalat, dan shadaqah, ia takut Allah tidak menerima
amalannya”.7
6 Al Mu’minun : 60
7 Al Musnad (25705)
6
Hasan Al-Bashri berkata: “ Sesungguhnya seorang mukmin
menggabungkan antara iman dan takut, sedangkan munafik ia
menggabungkan antara keburukan dan perasaan tenang”.8
Sungguh telah terjadi sejak zaman dahulu dan kini dimana sebagian
orang setelah selesai melaksanakan ibadah ini mengucapkan kepada yang
lain: “Semoga Allah menerima ibadah kami dan kalian dan semua orang
pun mengharapkan hajinya diterima”9. Allah telah menyebutkan di dalam Al
Qur’an bahwasanya Nabi-Nya Ibrahim dan anaknya, Ismailalaihimassalaam-
setelah selesai membangun ka’bah mereka berdua
mengucapkan sebuah doa. Allah berfirman:
“ dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui".”10
Keduanya beramal shalih kemudian meminta kepada Allah agar
amalnya diterima. Diriwayatkan oleh Abu Hatim dari Wuhaib bin Al Ward
bahwasanya beliau membaca ayat ini kemudian beliau menangis dan
berkata:”Wahai Kekasih Ar Rahman.. Engkau meninggikan rumah Ar
Rahman sedangkan engkau takut amal mu tidak diterima”.11 Jika keadaan
seorang Imam orang-orang yang hanif dan panutan orang-orang yang
bertauhid seperti ini, maka bagaimana orang selainnya!
8 Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd (985)
9 Ibnu Bathah berkata dalam kitab Al Ibanah (II/873) : “Begitu juga orang yang telah selesai melaksanakan haji
dan umrah apabila ditanya tentang hajinya, ia berkata:”Sungguh kami telah berhaji dan tidak tersisa kecuali
harapan diterima”. Sebagaimana doa sebagian manusia untuk diri mereka dan orang lain:” Ya Allah terimalah
puasa dan zakat kami” maka dikatakan bagi orang yang berhaji:”Semoga Allah menerima hajimu dan
mensucikan amal mu”. Begitupun dengan orang yang selesai melaksanakan puasa ramadhan, mereka
berkata:”Semoga Allah menerima puasa kami dan kalian”. Hal ini telah berlangsung sejak dulu dan orang yang
belakangan mencontoh hal tersebut dari pendahulu mereka.
10 Al Baqarah : 127
11 Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam tafsirnya sebagaimana yang ada di tafsir Ibnu Katsir (I/254)
7
Kita memohon kepada Allah penerimaan dan taufiq untuk semuanya
dan agar orang-orang yang berhaji ke baitullah senantiasa dalam
keselamatan dan Ampunan. Semoga Allah menerima amal shalih kami dan
kalian dan semoga Allah menunjuki kita semua jalan yang lurus.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia.