Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan
Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala
dan mendapatkan pahala serta ridho-Nya, maka tentunya sebagaimana yang
kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-
Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut.
Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar
ibadah pada bulan tersebut (khususnya ibadah puasa) lepas dari kesalahan,
maka kami mohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan
dilakukan orang di bulan Ramadhan ini.
Terimakasih.
Jawab:
Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai
dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak
disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata
merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah
subhanahu wa ta'ala.
Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di
kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi
nasehat dan bekal menyambut bulanRamadhan.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :
Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan
ilmu Falaq atau ilmu Hisab.
Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan
Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :
"Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia
berpuasa".
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam:
4
"Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian
melihatnya maka berbukalah".
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya
Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan
dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah
untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan
wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.
Berkata Al-Baajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan
ilmu Falaq dan ilmu Hisab : "Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah
merupakan hujjah (bantahan) atas mereka". Lihat Subulus Salam 2/242.
Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan
menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : "Ini
adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq
karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang
tidak jelas". Lihat : Subulus Salam 2/242.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : "Jawaban terhadap
mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits
dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam bersabda
"Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak
dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu
jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini,
begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)".
Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan
maksud ihtiyath (berjaga-jaga).
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-
Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
bersabda :
"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari
sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa
sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa".
5
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : "Ini menunjukkan
haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka
untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)".
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : "…karena menentukan
puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...".
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul
Ahwadzy) : "Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang
mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…".
Berkata Imam An-Nawawy : "Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah". Lihat
: Syarah Shohih Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan
berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu
bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa apa.
Wallahu A’lam.
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan
para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul
Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan
Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali
diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
"Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam
perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut
bermacam-macam diantaranya :
• Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
• Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shahih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam bersabda :
"Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah
makan sahur".
• Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang
ingin dilatih berpuasa.
• Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat
sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang
merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
• Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.