Apakah Menyentuh Kemaluan
Membatalkan Wudhu?
Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu dan Fatwa
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Menyentuh Kemaluan
Membatalkan Wudhu
Pertanyaan 1: Para ulama berbeda pendapat dalam membatalkan wudhu
karena menyentuh kemaluan. Yang mengatakan tidak batal mengambil dalil
dengan hadits: 'Tidak adalah ia melainkan salah satu bagian darimu", apakah
pendapat yang kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jawaban 1: Segala puji hanya bagi Allah . Shalawat dan salam semoga
tetap tercurah kepada Rasul-Nya , keluarga dan para sahabatnya. Amma
Ba'du: Pendapat yang rajih (paling kuat) dari pendapat ulama dalam masalah ini
adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu batalnya wudhu karena
menyentuh kemaluan. Karena hadits yang berbunyi:
"Tidak adalah ia kecuali satu bagian darimu."1
Adalah hadits dha'if (lemah) yang tidak mampu menandingi hadits-hadits shahih
yang menunjukkan bahwa siapa yang menyentuh kemaluannya (alat vital), ia
harus berwudhu. Pada dasarnya: perintah menunjukkan wajib. Dan andaikan
memang tidak dha'if, maka ia dinasakh oleh hadits:
"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu."2
Wabillahittaufiq, semoga shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi
kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Fatawa Lanjah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa 5/264.
1 HR. Ahmad 4/22, Abu Daud (182), an-Nasa`i 165, at-Tirmidzi 85, Ibnu Majah 483 dan Ibnu Hibban 119, 1120.
2 HR. Ahmad 2/223, dan 6/406, Abu Daud 181, at-Tirmidzi 82, an-Nasa`i 445-448, Ibnu Majah 479 dan Ibnu Hibban
1116 dan at-Tirmidzi berkata: Hasan shahih.
Pertanyaan 2: Apabila seseorang menyentuh kemaluannya di saat mandi,
apakah wudhunya batal?
Jawaban 2: Pendapat yang masyhur dari mazhab (Hanbali) bahwa
menyentuh kemaluan membatalkan wudhu. Atas dasar pendapat ini, apabila ia
menyentuh kemaluannya di saat mandinya, ia harus berwudhu sesudah itu.
Sama saja ia sengaja menyentuhnya atau tidak
Pendapat kedua: bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu,
namun hanya disunnahkan berwudhu karena itu. Itulah pilihan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran, terutama bila tidak
sengaja, namun berwudhu lebih utama sebagai tindakan privintif.
Syiakh Ibnu Utsaimin –Majmu' Fatawa wa Rasail (11/203).
Pertanyaan 3: Apakah menyentuh kemaluan membatalkan wudhu? Saya
pernah mendengar bahwa ia tidak membatalkan wudhu? Apakah ini benar?
Jawaban 3: ada dua hadits tentang menyentuh kemaluan: salah satunya
bahwa ia membatalkan wudhu.3 Pendapat kedua bahwa ia tidak membatalkan
wudhu,4 dan mengamalkan pendapat yang membatalkan untuk lebih berhatihati,
dan diamalkan oleh sebagian sahabat. Maka jika ia tidak berwudhu karena
menta'wilkan (meyakini tidak batal) niscaya shalatnya sah. Jika menyentuhnya
karena dorongan syahwat maka pendapat yang membatalkan lebih kuat.
Wallahu A'lam.
Syaikh Jibrin –al-Lu'luul Makin hal. 76-77.
3 Hadits Busrah binti Shafwan, ia memarfu'kannya: 'Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia
berwudhu."
4 Hadits Qais bi Thalq dari bapaknya, ia berkata: 'Kami datang kepada Nabi , lalu datang seorang lelaki sepertinya ia
seorang badawi, ia berkata: 'Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu tentang lelaki yang menyentuh kemaluannya
setelah ia berwudhu? Beliau bersabda: 'Tidak adalah ia melainkan salah segumpal daging darimu', atau beliau
bersabda: 'salah satu bagian darimu.' HR. Ahmad 4/22, Abu Daud 182, at-Tirmidzi 85, Ibnu Majah 483. al-Baihaqi
berkata: 'Cukuplah dalam mentarjih hadits Busrah terhadap hadits Thalq bahwa hadits Thalq tidak ada dalam Shahihain
dan tidak berhujjah dengan salah satu perawinya, dan hadits Busrah keduanya berhujjah dengan semua perawinya,
namun keduanya tidak mengeluarkannya karena ada perbedaan padanya terhadap Urwah dan terhadap Hisyam bin
Urwah. Perbedaan ini tidak menghalangi pemberian status shahih terhadapnya, sekalipun tidak selevel syarat
Shahihaian. Abu Daud berkata: Aku berkata kepada Ahmad: Apakah hadits Busrah tidak shahih? Ia menjawab: bahkan,
ia adalah shahih.' Lihat: Talkhish Khabir (1/122, 125).