Amalan Pasca Ramadhan
Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah
atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi
Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya
beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa
melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh
oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan
dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
berikut,
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman
dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu
pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang
meninggalkan amalan yang mulia ini. Begitu sering kami melihat
orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan
Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu
saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali
orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah
bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam
dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun
Islam yang satu ini.
Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita
masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum
dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan
sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya
4
dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan.
Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah
Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulanbulan
lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering
bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu
terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di
antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka
ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka
ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)
Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan
begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga
shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga
di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di masjid
khusus untuk kaum pria.
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu
shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa
yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke
dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku
tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403.
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang
sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27
derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)
Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini
sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai
pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai
meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi.
Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena
kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh
begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat
dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik
kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka
mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan
6
mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no.
657 dan Muslim no. 651)
Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat.
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan
keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia
telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad
shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR.
Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)
Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap
muslim –khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat
jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja.
7
Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan
sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat
jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di
antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat
jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang
menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana
beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria
ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun,
tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggil pria tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau
mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab,
‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)
Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak
jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat
jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada
penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah
juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang
8
menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun
dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan,
dia tetap wajib jama’ah di masjid.
Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan
berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di
masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat
jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah
dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena
meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang dia
lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di
masjid bahkan lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat
lima waktu di rumahnya.
Memperbanyak Puasa Sunnah
Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan,
hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan melakukan
amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan
dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa
adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani
mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa
hadits ini shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang
muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah
perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat
nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari puasa
sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku
telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi
petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk
memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku
mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku
akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan
sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan
memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan
kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan
dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin,
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)
Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang
muslim setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat
menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah
kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada
ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kita juga dapat
melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9
Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan
banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan
10
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya
kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari
berpuasa dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita
melakukan amalan puasa sunnah ini.
Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal
Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha
untuk menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari
di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat
istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa
enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun
penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang
dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat
inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud
serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi
‘ala Muslim, 8/56)
Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam
Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i
mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa
syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri.
Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal
maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal
setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”
11
Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?
Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah
di antaranya:
1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan
menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat
rawatib qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini
akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada
dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan
dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan
menyempurnakannya.
3. Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah
tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah
Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi
taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian
salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah
amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan
kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya,
maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama.
Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu
dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah
tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan
yang telah dilakukan.”
4. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk
melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni
dosa kita yang telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri
hal ini dengan melaksanakan puasa setelah Ramadhan.
Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya
melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka
berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang
diberikan. (Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy
Syamilah)
12
Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat
melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Ini sungguh
keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita melaksanakan
puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.
Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik
bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa
Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa
Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih
diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah
karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila
puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada
tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan
terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun
penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan
masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa
sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan
ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa
ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Menjaga Shalat Malam
Inilah penyakit yang diderita oleh kaum muslimin setelah
Ramadhan. Ketika Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat
qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita saksikan setelah
Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan-akan hilang begitu
saja. Orang-orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari
hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun untuk mengambil
air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah-olah amalan
shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu
ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul13
betul menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan
membuahkan kebaikan selanjutnya.
Sebagian salaf mengatakan,
“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah
kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan
kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)
Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah
musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan.
Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di
antaranya:
1. Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa
pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah
shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
2. Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga
dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi
(dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada
orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia
yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam
surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485
dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah
Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
3. Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai
orang yang berdzikir kepada Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia
membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan
shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria
dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu
Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih
wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits
15
ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat
malam berjama’ah.
4. Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan
melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi
harinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian
belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap
ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang,
tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah
satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu
ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah
ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan
bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria
dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no.
776)
Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur
pulas di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah
16
orang-orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi
setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang
mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga
shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.”
(HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al
Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640
mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di
luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan
Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang
dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa
mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak
mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)
17
Sebaik-baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat
malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau ingin
mengulang pelajaran sebagaimana Abu Hurairah.
“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia
biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan
Muslim no. 2479)
Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan
hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup wiHr 1
raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang
utama ini.
Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai
Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau
amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah amalan-amalan
tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3
raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at
yang dikerjakan sedikit), maka itu masih mending daripada tidak
shalat malam sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan
kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan.
(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah
amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An
18
Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam
Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)
Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan
Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian
orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan
suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah
tersebut. Dia pun menjawab,
“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal
Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if
Ma’arif, 244)
Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan
mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan
mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam
Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini
shohih)
Bid’ah di Bulan Syawal
Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap
muslim di bulan Syawal:
1. Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal
Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat
kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini
19
melaksanakan hajatan nikah ketika Syawal karena pada saat
itu adalah waktu semua kerabat berkumpul berlebaran.
Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu
(masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan
nikahan ketika bulan Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan)
mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan bulan Syawal yang
dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan
ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial
nikah di bulan Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat
riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh
Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan
keluarga beliau tetap harmonis.
Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai
bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah
anggapan yang terlarang dalam agama ini. Beranggapan sial
dengan bulan atau waktu sama saja dengan mencelanya. Dan
mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang
menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam.
Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu,
Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR.
Muslim no. 6000)
20
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah
menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk
kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial
termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu
beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari
beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut
adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no.
3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al
Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
2. ‘Idul Abror (‘Ied pada tanggal 8 Syawal)
Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di
negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara
tersebut itu sama.
Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak berpuasa) pada
tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal-,
mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu
pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan
‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).
21
Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir
yang gemar berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
membantah perayaan ied semacam ini dengan mengatakan,
“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari
hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha,
pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan
Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi),
perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah,
awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -
yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan
Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan
oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik
umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”
(Majmu’ Fatawa, 25/298)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun
perayaan hari ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang
disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik)
atau pun orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh
bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai ‘ied.
Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada
dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al
Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)
Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya
dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi
oleh setiap muslim. Semoga kita termasuk orang yang selalu
mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam
agama ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang
22
thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu
sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Sumber : www.muslim.or.id