Artikel




Musyawarah dalam Islam


Islam telah menganjurkan musyawarah dan


memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur'an, ia


menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga,


masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam


kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang


beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna


kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat


as syuura, Allah berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menerima


(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan


mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka


menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.


(QS. as Syuura: 38)


Oleh karena kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah


 menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: Dan


bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran:


159)


Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan


para sahabatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu itu


Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah pada


pendapat mereka, dan ternyata hasilnya tidak menggembirakan,


dimana umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat


terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush'ab dan Sa'ad bin ar


Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap


bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah


ada semua kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak


menggembirakan.


4


Musyawarah Rasulullah  dengan para sahabatnya


Rasulullah  adalah orang yang suka bermusyawarah dengan


para sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak


bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah dengan


mereka di perang badar, bermusyawarah dengan mereka di perang


uhud, bermusyawarah dengan mereka di perang khandak, beliau


mengalah dan mengambil pendapat para pemuda untuk


membiasakan mereka bermusyawarah dan berani menyampaikan


pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Beliau


bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak, beliau


pernah berniat hendak melakukan perdamaian dengan suku ghatafan


dengan imbalan sepertiga hasil buah madinah agar mereka tidak


berkomplot dengan Quraisy. Tatkala utusan anshar menolak, belia


menerima penolakan mereka dan mengambil pendapat mereka. Di


Hudaibiyah Rasulullah  bermusyawarah dengan ummu Salamah


ketika para sahabatnya tidak mau bertahallul dari ihram, dimana


beliau masuk menemui ummu Salamah, beliau berkata, "manusia


telah binasa, aku menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at


kepadaku, mereka merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah


yang telah mereka persiapkan sebelumnya," kemudian ummu


Salamah mengusulkan agar beliau bertahallul dan keluar kepada


mereka, dan beliau pun melaksanakan usulannya. Begitu melihat


Rasulullah bertahallul, mereka langsung segera berebut mengikuti


beliau.


Rasulullah  telah merumuskan musyawarah dalam


masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para


sahabat dan tabi'in para pendahulu umat ini mengikuti petunjuk


beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas


dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.


5


Musyawarah fleksibel


Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam


melaksanakan tugas kenegaraan harus berkonsultasi dengan para


ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan bisa juga ia


membentuk majlis syura, yang tugasnya mempelajari, meneliti, dan


menyampaikan pendapat dalam hal-hal yang dibolehkan berijtihad


oleh syari'at. Ini semua dalam rangka mengikuti apa yang telah


dilakukan oleh Rasulullah , dimana ketika orang-orang bijak yang


mewakili rakyat di madinah, ketika mereka berkumpul di sekitar


beliau dan mereka semua adalah sahabat, Rasulullah


bermusyawarah dengan mereka tentang hal-hal yang tidak ada


wahyu dan nash, memberikan kebebasan kepada mereka untuk


berbicara dan berbuat dalam urusan keduniaan; karena mereka lebih


pengalaman dahal hal ini, dan arti (keduniaan) di sini adalah tidak


berkaitan dengan hukum syari'at atau masyarakat, akan tetapi


bekaitan dengan pengalaman ilmiah, seperti seni berperang,


menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di


zaman kita sekarang ini bisa kita namakan, murni urusan keilmuan,


dan urusan praktek amaliah, Rasulullah memberikan kebebasan


kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini dengan mengatakan:


"kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."


Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan


penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator,


menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara


melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan


memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh karena itu


musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan


berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting


pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden


kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan


menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka,


6


yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan


pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah,


yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.


Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan


musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para


mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam


membuat undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan


para penguasa dan keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah


dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam menghambakan diri


padaNya.


Penjamin utama dalam merealisasikan ini semua adalah


kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan hukum Allah,


dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri


dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau


individu dalam bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, karena ini


semua bertentangan dengan akidah tauhid, dan merupakan bahaya


yang sangat besar apabila masyarakat sampai kepada pengkultusan


ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas,


atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang


berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang


menyerupai syi'ar ibadah, dan menjatuhkan manusia kepada


kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, dan ini semua tidak


boleh terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh petunjuk


al-Qur'an dan hadits.


Perbedaan musyawarah dengan demokrasi


Islam telah mewajibkan musyawarah sejak lima belas abad


yang lalu, dan mewajibkan kepada umat Islam untuk menerapkannya


dalam kehidupan mereka secara pribadi, dalam masyarakat mereka,


dan dalam negara mereka, dan musyawarah dalam Islam merupakan


prinsip baru bagi kemanusiaan dalam sejarah mereka dahulu dan


kini.


7


Hal ini karena apa yang dicapai oleh manusia sekarang setelah


revolusi berdarah adalah demokrasi dalam system pemerintahan.


Jika kita membandingkan antara demokrasi barat yang berlaku


sekarang dengan musyawarah dalam Islam, maka kita akan


mendapatkan banyak perbedaan antara keduanya, dalam metode,


dan tujuan, walaupun keduanya bertemu dalam banyak sisi.


Di akhir pembahasan tentang musyawah ini saya tidak


mendapatkan yang lebih utama daripada memaparkan pendapat


seorang politikus dan diplomat yang telah menghabiskan umurnya


yang panjang dalam bidang politik di Suria dan kerajaan Saudi


Arabia, yaitu DR. Ma'ruf ad Dawalibi. Beliau telah mengalami


peperangan politik demokrasi di Suria, pada masa Negara itu


menganut system politik bebas, dan parlemen yang dipilih oleh


rakyat, beliau sampai pada jabatan pimpinan perdana menteri, dan


merupakan salah satu pemimpin partai rakyat di Suria, yang


merupakan mayoritas di perlemen.


Lalu beliau datang ke kerajaan Saudi Arabia setelah


terhentinya kehidupan parlemen di Suria untuk memenuhi undangan


Raja Faisal bin Abdul Aziz Al Su'ud rahimahullah, untuk bekerja


sebagai penasehat di diwan malaki, dan sampai sekarang beliau


masih bekerja.


Beliau telah menerbitkan buku yang berjudul ad daulah wa


assulthah fi al Islam, ini adalah penelitian yang disampaikan dalam


konfrensi UNESCO di Paris pada tahun 1982M. dimana beliau


membahas tentang musyawarah dan demokrasi, menjelaskan


perbedaan antara keduanya, dengan judul (musyawarah), berikut ini


teks pembicaraannya:


"Di sini saya hanya menegaskan tentang prinsip musyawarah


yang wajib dalam Islam, ia adalah prinsip yang baru bagi


kemanusiaan dalam peradabannya dahulu dan sekarang, dimana


seluruh yang dicapai oleh filsafat hingga hari ini dalam system


pemerintahan adalah mewajibkan memerintah dengan demokrasi,


8


saya mengenalnya sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat, dan untuk


rakyat. Dalam prakteknya demokrasi tidak lain hanyalah:


• mayoritas memimpin minoritas (baik minoritas mau atau tidak)


• atau minoritas memimpin mayoritas, dalam bentuk lain, yaitu


yang dilakukan oleh system sosialis, dan dinamakan juga


dengan system sosialis demokratis.


Kedua system ini telah mengenyampingkan kelompok kecil atau


besar dari rakyat dalam mengambil keputusan, yaitu kaum minoritas


pada umumnya, atau mayoritas dalam system sosialis.


Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam


adalah mewajibkan mengambil pendapat semua tanpa membedakan


antara mayoritas dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang


terkuat dari segi argumentasi setelah dibandingkan antara kedua


pendapat, bukan mengambil suara terbanyak.


Dalam bermusyawarah kita tahu sulitnya membuat kaidah


memilih pendapat yang kuat, namun ini tidak mustahil jika


ditimbang dengan akal sehat, maslahat dan pengalaman,


sebagaimana ulama fiqh membuat kaidah ilmiyah untuk memilih


pendapat yang kuat. Dengan memilih pendapat yang kuat sesuai


dengan kaidah ini maka tidak ada keberpihakan pada salah satu


kelompok atas yang lain, akan tetapi mengambil pendapat terkuat


secara akal, maslahat dan pengalaman setelah semua pendapat


diletakkan pada posisi yang sama tanpa mengabaikan salah satu


pendapat.


Prinsip musyawarah ini merupakan prinsip baru dalam system


pemerintahan dimana ia menghilangkan semua bentuk penindasan


dari pihak mayoritas atas pihak minoritas sebagaimana yang dianut


oleh system demokrasi mutlak. Demikian pula ia menghilangkan


segala bentuk penindasan pihak minoritas atas pihak mayoritas


sebagaimana dalam system sosialis demokratis.


Sebagaimana prinsip musyawarah ini mengangkat semua


pendapat orang baik dari pihak minoritas maupun mayoritas kepada


derajat yang sama, tanpa memberikan kesan dikesampingkan atau


9


tidak diperdulikan kepada siapapun, sebagaimana yang berlaku pada


masa nabi dalam musyawarah yang wajib, kemudian mengambil


pendapat terbaik setelah ditimbang-timbang.


Akan tetapi seperti halnya masalah lain, prinsip musyawarah


ini memerlukan persiapan pendidikan secara khusus agar


musyawarah ini bisa diterima dengan baik, dan persiapan pendidikan


untuk menerima prinsip musyawarah ini lebih mudah daripada


persiapan pendidikan yang dipaksakan untuk menerima prinsip


penindasan kelompok mayoritas atas minoritas, atau prinsip


penindasan minoritas atas mayoritas, terutama yang kedua ini


biasanya dan sampai sekarang tidak diterapkan kecuali dengan


kekuatan dan kekerasan.


Demikian pula prinsip musyawarah ini memerlukan perangkat


teknis ilmiah yang sesuai dengan tema musyawarah, dengan


membentuk panitia khusus di parlemen misalnya atau lainnya yang


diberi tugas untuk mempelajari usulan-usulan yang masuk untuk


memilih pendapat yang terbaik, kemudian mengambil keputusan


sesuai dengan kaidah-kaidah aturan yang diterima oleh semua pihak


dengan penuh kebebasan.


***


Di sini juga dalam masalah (unsure rakyat) dan bangsa dalam


Negara modern, sebagian penulis dalam majalah Prancis Beauvoir,


mengingkari jika dalam Islam ada pemahaman yang jelas bagi umat,


mereka adalah Profesor Iyadh bin Asyuur dari Tunis, dan Prof.


William Zartmann dari New York.


Adapun Prof. bin Asyur, ia berkata pada hal. 21 dalam majalah


itu:


Pertama: sesungguhnya bangsa dalam Islam tidak mempunyai


eksistensi


10


Kedua: dalam Islam bangsa merupakan khayalan bagi bangsa


yang disatukan oleh akidah dalam berbagai masa dan berbagai


tempat.


Ketiga: bangsa tidak mengungkapkan kehendaknya dengan


langsung, akan tatapi diwakili oleh kaum ningrat yang memonopoli


kekuasaan dan ilmu pengetahuan.


Adapun Prof. William Zartmann, ia juga berkata pada halaman


enam dan setelahnya:


Pertama: bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin


dirinya, karena dalam teori politik Islam tidak ada balai pertemuan,


atau dewan publikasi, atau parlemen.


Kedua: dalam Negara Islam tidak terdapat pemikiran tentang


batas Negara, karena Negara Islam datang pertama kali dari gurun


sahara… kemudian berkembang menjadi masyarakat madani yang


dikelilingi oleh mereka badui yang berpindah-pindah.


Kami akan menjawab itu semua dengan singkat:


Pertama bahwa negera yang didirikan oleh rasul Islam sendiri


adalah Negara Yatsrib, dan bahwa bangsa sesuai dengan teks


konstitusi Negara ini mempunyai eksistensi yang jelas, karena


kelompok-kelompok yang mengakui konstitusi ini dan bergabung


dengannya telah disebut dengan namanya masing-masing, semuanya


adalah kelompok yang tinggal di sekitar mata airnya, dan mempunyai


batas tanah pertanian yang tidak diragukan lagi.


Prof. Ibn Asyuur telah lupa mengabaikan fakta bahwa pada


banyak Negara suatu pengertian suatu bangsa ada dua konsep, yang


pertama bisa dikatakan "konsep histories" dan yang kedua bisa


dikatakan "konsep politik"


a. adapun konsep histories, maka hanya itulah dalam


gambarannya yang melampaui batas masa dan tanah, ini seperti


bangsa Arab, Turki, Prancis dan Jerman misalnya dalam sejarah.


Dan seperti bangsa yang beriman kepada Allah sepanjang sejarah,


yaitu pengikut para rasul dan para nabi sejak masa Nabi Ibrahim


bapak para nabi hingga masa Muhammad, al-Qur'an menyebutkan


11


mereka: 92. Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu


semua; agama yang satu[971] dan Aku adalah Tuhanmu, Maka


sembahlah Aku.  (QS. al Anbiya': 92)


dan firmannya juga: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang


baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha


mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama Tauhid)


ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah


Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. al Mukminuun: 51,


52)


b. adapun konsep politik, ia terbatas pada kelompok-kelompok dan


daerah. Allah telah bekehendak Islam yang pertama mendirikan


Negara pertama dalam sejarah sesuai dengan konsep ini (konsep


politik) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah di (Negara


Madinah Yatsrib), dan tidak menjadikannya terbatas pada satu


kelompok dalam akidah; akan tetapi menghimpun di dalamnya


antara umat Islam dari kalangan muhajirin dari Mekah dan umat


Islam penduduk asli Madinah, sebagaimana juga terdiri dari orangorang


Yahudi dan orang-orang musyrik yang bersama mereka, dan


mereka semua dikatakan: "sesungguhnya mereka adalah satu


bangsa" persis seperti Negara modern sekarang. Demikian pula Allah


bekehendak bahwa Negara Islam yang baru ini tercatat pertama kali


dalam sejarah dalam satu lembar konstitusi yang diakui oleh semua


penduduknya, dan inilah yang belum kita dapatkan hal yang sama


dalam sejarah.


Demikian pula perkataan: "sesungguhnya bangsa dalam Islam


tidak mengekspresikan dirinya akan tetapi diwakili oleh sekelompok


kaum ningrat yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan",


ini adalah perkataan yang sangat aneh. Karena:


a. Mayoritas bangsa-bangsa sekarang tidak mencerminkan


dirinya sendiri, akan tetapi melalui perwakilannya,


berdasarkan banyak undang-undang yang beragam. Sejak


empat belas abad yang lalu Islam tidak bekehendak membatasi


12


aturan tertentu bagi contoh ini dimana pendapat-pendapat


terkadang berbeda sesuai dengan kondisi bangsa dan


maslahatnya, akan tetapi system syari'at al-Qur'an dalam hal


semacam ini memberi kebebasan bagi akal manusia untuk


memilih sesuai dengan kebutuhannya yang berkembang.


b. Islam telah mewajibkan menuntut ilmu kepada semua tanpa


ada monopoli, bahkan menjadikan monopoli terhadap ilmu


suatu kemungkaran yang ada hukumannya sebagaimana


disebutkan dalam hukum-hukum rasul Islam, jika pada suatu


masa muncul sekelompok ulama, dan umat manusia


mengikuti arahan-arahan mereka dengan keinginan mereka


yang bebas, maka mereka tidak bisa dinamakan kaum ningrat,


apalagi sama sekali mereka bukan berasal dari kaum ningrat,


namun mereka semua berasal dari kelompok miskin yang


memimpin umat di hadapan kekuasaan para penguasa.


Di sini cukup dikemukakan satu contoh dari ulama tersebut,


yaitu hakim madinah Muhammad bin Umar at Thalhi yang


memenangkan perkara atas salah satu khalifah besar abbasiyah Al


Manshur al Abbasi di madinah untuk para kuli angkut dan


penggembala keledai setelah hakim ini memanggil khalifah melalui


surat pangilan kepada para kuli dan khalifah ke majlis pengadilan di


halaman masjid, ia mendudukkan kedua belah pihak di hadapannya


seperti rakyat biasa dan ia memenangkan perkara untuk para kuli (1),


tanpa memperdulikan kedudukan khalifah dan kebesarannya di


hadapan pengadilan.


Adapun perkataan Prof. William Zartmann "bahwa bangsa


dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, karena dalam teori


politik Islam tidak ada balai pertemuan, atau dewan publikasi, atau


parlemen." Ini adalah pendapat yang sangat aneh, ia menganggap


system-sistem baru yang berbeda-beda dalam cara kepemimpinannya


(1) Khulashat al madzhab al mukhtashar min siyar al muluk, dinukil dari al madkhal al fiqhi al aam,


karangan ustasdz Mushthafa az zarqa, hal 169-201, cet ke v thn. 1957M.


13


telah merealisasikan keingian suatu bangsa memimpin dirinya


sendiri, karena banyak catatan ilmiyah atas majlis pemilihan ini:


a. dalam majlis-majlis ini dalam system demokrasi kapitalis,


kekuasaan hanya dimiliki oleh mayoritas suatu bangsa, dengan


demikian kekuasaan dimonopoli oleh kaum ningrat baru yaitu


ningrat mayoritas.


b. Adapun Majlis dalam system sosialis seperti majlis soviet,


terkadang mereka menamakannya demokrasi juga, maka


kekuasaan di sini seperti diketahui terbatas pada sekelompok


minoritas, dengan demikian kekuasaan dimonopoli juga oleh


kaum ningrat baru juga yaitu ningrat minoritas.


c. Berdasarkan catatan-catatan ini atas system-sistem dan majils


ini, maka system syari'at al-Qur'an mempunyai pandangan


lebih jauh ketika mewajibkan prinsip musyawarah, kemudian


menyerahkan bentuk dan teknisnya pada akal umat ini sesuai


dengan keperluan mereka yang selalu bekembang,


sebagaimana telah kami sebutkan di atas dalam pembahasan


masalah musyawarah.


d. Pada kesempatan ini kami tidak lupa mengingatkan pada


perhatian Islam pada pendirian masjid agar menjadi tempat


perkumpulan pertama bagi umat Islam sejak pertama kali


Rasulullah  sampai ke madinah (Yatsrib) dimana beliau


mendirikan Negara Islam di sana, beliau langsung membangun


masjid dan menjadikannya sebagai tempat umum untuk


mengurusi persoalan umat Islam dalam agama dan dunia


mereka, di masjid tersebut mereka bertemu lima kali dalam


satu hari untuk mendirikan shalat bagi yang bisa


melakukannya, dan satu hari dalam satu minggu yang wajib


dilakukan bagi semua.


Masjid ini sekaligus menjadi tempat ibadah, tempat


bermusyawarah, menerima para utusan, rumah sakit, rumah


pemondokan dimana Rasulullah menerima pendeta nasrani Najran


yang bertamu kepada beliau, tempat pengadilan, dan di sana Qadhi


14


memenangkan perkara bagi para kuli angkut atas khalifah al


Manshur, bahkan masjid juga menjadi tempat merayakan hari ied…


apabila penguasa mengajak bermusyawarah di masjid dengan cara


mengumandangkan adzan pada selain waktu shalat, mereka semua


tahu bahwa ada persoalan penting, maka mereka segera


meninggalkan pekerjaan mereka dan segera menuju majlis


musyawarah yang tidak hanya terbatas pada satu kelompok, atau


orang-orang tertentu, dan mereka semua berhak mengajukan


pendapat.


Demikianlah, musyawarah antar warga telah terjadi sejak masa


awal, akan tetapi perkembangannya diserahkan pada akal sehat


manusia sesuai dengan kondisi mereka dan perkembangan maslahat


mereka (2).


Ada perbedaan besar dan prinsip antara musyawarah Islam


dan demokrasi barat, yang nampak jelas sekali dalam standar ganda


yang dilakukan oleh Negara-negara demokrasi barat dan amerika,


ketika suatu persoalan berkaitan dengan Negara kecil dari dunia


ketiga.


Negara demokrasi ini sangat mengagungkan demokrasi di


dalam negaranya, dan mempraktekkannya dengan sangat detail dan


disiplin, dalam masalah yang berkaitan dengan kebebasan pendapat,


kebebasan memilih, mengawasi pemerintah, dan mengkritik, dan di


waktu yang sama kita lihat ia mendukung dan membantu para


penguasa dictator di Negara ketiga, yang membunuh kebebasan


pendapat dan mengubur kebebasan memilih, dimana penguasa


tunggal dalam Negara tersebut selalu menang 99 %, dan tidak


membolehkan mengontrol penguasa dan mengkritiknya, siapa yang


berani melakukan hal itu maka ia akan dijebloskan ke dalam penjara,


dan terkadang ia harus mendekam dalam penjara seumur hidup, ini


jika tidak dinaikkan ke tiang gantungan.


Sejak lama Inggris merupakan kerajaan yang kekuasaannya


tidak pernah mataharinya tenggelam, dan system kerajaannya adalah


(2) Ad daulah wa assulthah fi al Islam, oleh Dr. Ma'ruf ad dawalibi: 51-59.


15


system kolonial, yang mencabut hak rakyat dalam kemerdekaan,


kemuliaan dan menentukan masa depan, dan pada waktu yang sama


ia merupakan pemimpin demokrasi di dunia.


Setelah itu diteruskan oleh Amerika tapi bukan dengan


penjajahan, akan tetapi dengan kekuasaan dan arogansi, lalu diikuti


oleh anak emasnya Israil, ia membantunya dengan harta dan senjata,


dan dengan menggunakan hak veto untuk kemaslahatannya, ia


bungkam terhadap malapetaka, penghancuran, pengusiran, dan


menyia-nyiakan hak, yang menimpa rakyat Palestina. demikian pula


perbuatannya yang tidak manusiawi dan tidak demokratis di Jepang,


Vietnam dan Somalia, semua orang tahu.


Jadi standar ganda merupakan karakter politik luar negeri


Negara-negara demokrasi barat pada masa sekarang ini.


jika kita lihat pada petunjuk Islam yang merupakan dasar ms


dalam Negara Islam, kita akan mendapatkan standar tunggal, yang


menjadi pijakan adalah kebenaran dan keadilan antara manusia


dengan berbagai jenis warna kulit, ras, bahasa dan agama, walaupun


antara umat Islam dan orang-orang yang bersengketa dengan mereka


ada permusuhan Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi


orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah,


menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu


terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.


berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.  (QS.


Shaad: 26). al Maidah: 8)


Tidak ada akidah atau sistem di muka bumi ini yang menjamin


keadilah mutlak bagi musuh yang dibenci seperti agama ini (Islam);


karena Islam menyuruh para pemeluknya agar menegakkan keadilan


karena Allah, melepasakan diri dari selainNya, dan agar mereka


menjadi saksi dengan adil, dan agar kebencian mereka kepada


musuh tidak menghalangi mereka berbuat adil kepada mereka.


keputusan yang adil dalam masalah musuh yang dibenci


bukan hanya sekedar wasiat, bukan pula sekedar teori, akan tetapi


16


merupakan kenyataan dalam kehidupan umat Islam pada masa-masa


cemerlang. manusia tidak menyaksikan seperti itu sebelumnya


maupun sesudahnya, conton-contoh yang dicatat oleh sejarah dalam


maslah ini banyak sekali. apakah bertentangan dengan kenyataan


jika kita katakana: sesungguhnya masyarakat yang dibangun oleh


Islam telah sampai pada tingkat musyawarah dan keadilan yang tidak


dicapai oleh masyarakat manapun.


Musyawarah dalam masyarakat muslim yang melaksanakan


hukum yang diturunkan oleh Allah tidak seperti musyawarah dalam


masyarakat demokrasi di Negara-negara non muslim, baik itu


demokrasi kapitalis yang merupakan (aristokrasi mayoritas)


walaupun dengan satu suara, atau demikrasi sosialis yang berupa


(aristokrasi minoritas) yang menindas kelompok mayoritas dengan


besi dan api.


Hal itu adalah musyawarah yang dibuat oleh manusia, untuk


bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya


sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam adalah tukar pendapat


antara orang-orang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari


ahlul halli wal aqdi, untuk sampai pada keputusan terbaik dalam


menerapkan hukum Allah atas manusia.


Oleh karena itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, karena


ia adalah perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa menghapusnya


untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia:


Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. ((QS. Ali


Imran: 156)


Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara


mereka;  ((QS. Asssyuura: 38)


sedangkan dalam Negara yang menggunakan undang-undang


buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi,


dan memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan,


disinilah terjadi sikap otoriter dan kezaliman.


Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan,


maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika


17


mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan


menerimanya dengan lapang dada dan menjawabnya dengan


kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab


kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah


pembatasan Mahar: "Umar salah dan wanita ini benar" (3).


dan juga beliau berkata kepada salah seorang yang mengkritiknya:


"tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya,


dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya."(4).


Dalam masyarakat muslim musyawarah memperoleh nilai dari


petunjuk Islam yang lurus, yang tidak menjadikannya sebagai debat


kusir, dan para politikus gadungan, seperti yang terjadi dalam


banyak parlemen sekaran, dan majis rakyat, akan tetapi musyawarah


diletakkan pada para pemuka masyarakat yang mempunyai


pemikiran yang cerdas dan latar belakang pengetahuan yang


memadai, sebagaimana dipahami dari sabda nabi :





«Hendaklah berada di belangkangku dari kalian adalah orang


bijaksana dan cerdas.» (HR. Muslim)


Nabi memberi arahan agar mengedepankan orang-orang bijak


dan cerdas berdiri di belakang beliau di waktu shalat merupakan


pencalonan bagi mereka untuk menjadi anggota musyawarah dan


ahlul halli wal aqdi dalam masyarakat muslim. dan jauh sekali


bedanya antara musyawarah yang anggotanya terdiri dari para


penjahat dan rakya jelata, dan musyawarah yang anggotanya terdiri


dari orang-orang baik, mulia dan orang-orang terhormat (5).


(3) Ibn al Jauzi: 129, Syarh Ibn Abi al Jadid: 1/61.


(4) Akhbar Umar, oleh At thanthawi: 267.


(5) Lihat: wamadhaat al khathir, oleh pengarang: 133-135.



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i